Translate

Thursday, February 28, 2013

Sekapur Sirih



10/06/2012

  seperti dakocan berwarna merah dan kuning tiba-tiba dimatikan lawan sambil senyum dengan mengakhiri permainan kartu menjelang subuh, hemaglobin merapung dan adrenalinku melemahkan denyut jantung ini. Sementara di sana, puluhan poster dan spanduk memanaskan api, mencairkan dahak atas perselingkuhan hukum yang saling orgasme, entah siapa yg melakukan penetrasi, karena mereka mengaku paling gagah dan jago meski ke duanya layu dan perlu ditegakkan kembali.

Aku masih ingin menyusun kartu-kartu itu, meski tanpa yoker yang seenaknya keluar masuk ke segala sektor kehidupan ini, untuk memastikan siapa maling yang paling kondang di antara kawan sepermainan ini.

(Padang, 6 Oktober 2012)
08/22/2012

 

dilicinnya punggung belut, aku bersikukuh
menyelam ke dalam lunau, menembus gelembung
pernafasan yang kian meregang


apa yang tersisa di antara kita?

hanya denyut yang makin melemah
bagai pelita kehabisan damar

Padang, 13 Juli 2012


08/22/2012

 
-setelah melihat pipiet senja yang terbaring di rs dustira-

Malam menemui sang
sempit nian ruang


Perangko pas kehabisan
kita tempelkan kembar
ruang bergerak
lalu mati!

Sang malam memelukku
pasrah tak sempat jitu
nikmatnya pun tak bersatu

Malam menemui sang
lantas Kau terbaring di ranjang
kekasihku rohnya terpanggang

1980
(dari kumpulan puisi "NGARAI', 1980)


|

Puisi Kopi Marah Syarifuddin Arifin

Kopi Gayo
            –kepada  lesik keti ara–
Secangkir kopi yang kau suguhkan
telah menyeruak aromanya
merontokkan bulu hidung urang puteh
pohonnya tumbuh di dataran tinggi Gayo
melambai, menggamit si mata biru

mukjizat kopimu, ayah
memperkuat daya tahan Aceh

menyemangati hidup semua
mengawali pagi berangkat kerja
sumber inspirasi lawan bicara
obat mujarab segala siksa
pengikat lelah menghimpun tenaga
sejak balita sampai manula

dari dataran tinggi Gayo
burung-burung datang dan pergi
membawa dan menyerakkan biji kopi
menggembur sampai ke tanah tepi
ke tanah subur hamparan leka
hingga Aceh mendecak selera
sampai kini dan selamanya
Banda Aceh, 2012
Biji Kopimu, Dik
Secangkir kopi yang kau suguhkan, dik
membangkitkan gairah hidupku
anak-anak kopi yang menghitam
manisnya memancar ke wajahmu

ah, aku jatuh cinta lagi
padamu, pada perjuanganmu
memerdekakan inong bale
dari ketakutan riuhnya angin
yang bertiup dari barat sana

kureguk juga kopimu
dari tanoh indatu
bunga-bunganya semerbak
sampai hari ini
Padang-Banda Aceh, 2002
Mukjizat Sesudu Kopi
tengah malam
menjelang dini hari
ketika embun memberat
dan jatuh di ujung-ujung daun
aku menikmati segelas kopi
lalu
ku dengar tangis seorang bayi
yang meronta kuat sekali
di pangkuan ibunya

“ya Allah, anakku, panasnya\meninggi”

lalu aku datang mengetok pintu
si bayi terdiam sejenak dan meronta lagi
“Bukan ayahmu, nak. Mungkin malaikat
membawa sesendok kopi untukmu,”

kopi dalam gelas masih tersisa
untuk sereguk saja.
lalu kutuang ke telapak tangan
ketiadaan sudu
menyuapkannya pada sang bayi,
mengusapkan sisa bubuk kopi yang lembab
ke ubun-ubun dan pusar si bayi
dan ia pun tertidur pulas
mengembalikan suhu tubuhnya
menormalkan panas di pangkuan sang ibu
Lhong Raya, 2011
Kopi  Uleekareng
Aroma kopi Uleekareng
menyeruak  di simpang tujuh
duduk membicarakan apa saja
peugahhaba  sambil memegang mataangin
bagaikan semua selesai di meja
gelas-gelas kopi tak pernah
meninggalkan kehangatan
di setiap regukan
yang menyala ke jantung hati

Di simpang tujuh Uleekareng
kopi mengerikil pecah delapan
menggigit lidah ke seluruh penjuru
menyatukan citrarasanya
dalam idiolek Aceh Rayeuk
dirindukan Melayu se Nusantara
Banda Aceh, 20 Oktober 2012
-Peugahhaba = bincang-bincang, membicarakan apa saja
Seteguk Kopi, Cukuplah
                            -sahabatku, kardy syaid-
Tanpa seteguk kopi
seperti tak lengkap hidup ini

biji kopi menggelinding
ke mana-mana
di mana-mana
kapan saja
menyeruak, mengaliri aorta
lalu masuk ke dalam amplop
gambar-gambar para arsitek
ke dalam aspal dan kerikil
dalam gedung-gedung yang dingin
menghangatkan pejabat dan pengusaha
di kursi bambu sampai ke pelanta
petani dan nelayan
mereguknya penuh nikmat

seteguk kopi, cukuplah
untuk menikmati sehisap rokok
lalu menimbang kebijakan
dari bidak-bidak catur
menghancurkan benteng
melumpuhkan kuda patah kaki
menggembirakan raja tak bermahkota

ya, hanya dengan seteguk kopi
cukuplah
melengkapkan hidup ini
            Banda Aceh, 23 Oktober 2012
Marah Syarifuddin Arifin

No comments:

Post a Comment