DIJEBAK
ISTRI
Oleh Syarifuddin Arifin
Dua
Sungguh mati, seumur hidup ini tak pernah kutemukan gadis seperti dia. Berkerudung, tanpa make-up yang berlebihan. Kulitnya kehitaman, berpori halus. Kalau tersenyum, kelihatan manis sekali, dan di matanya bagaikan ada sesuatu yang memancarkan keteduhan yang alami. Sejak pandangan pertamanya, telah menjadikan aku sering pulang sore. Berharap gadis itu akan lewat di depan rumah dan aku akan menegurnya, lalu iapun membalas dengan seulas senyum manis yang menghiasi bibirnya. Duh ! Seperti biasa, setelah menghadiahiku seulas senyum, ia akan menekurkan kepala, sambil terus berjalan menuju surau untuk melakukan kewajibannya sebagai ummat Islam, yakni salat Magrib berjamaah. Hanya untuk menikmati senyum dari gadis berkerudung itulah, aku jadi sering pulang sore, dan pura-pura berada di depan rumah menjelang azan Magrib tiba. Pada hal sebelumnya, sejak aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja tahun lalu, aku jadi sering pulang setelah larut malam. Aku lebih suka menghabiskan siang di sebuah warung atau menyodok bolak bilyar sampai letih kecapaian. Kalau ada teman yang mengajak, ya menghilangkan kesuntukan di sebuah kafe atau diskotik, meminum minuman beralkohol tinggi. Bergoyang, berjoged dengan wanita-wanita penghibur, bahkan juga menikmatinya sampai tuntas. Menjelang subuh, aku pulang sempoyongan, disambut istri dan anak-anak dengan penuh kekecewaan. Mereka – istri dan anak-anak- tidak berani bertanya kenapa aku pulang menjelang pagi. Karena aku akan menjawab dengan sebuah bentakan dan sekali gus melayangkan tangan ke arah mereka. Kalau tidak ? Tentu ada-ada saja perangkat rumah yang rusak, menjadi korban akibat ketidakseimbangan emosiku. Siapa gerangan gadis berjilbab itu ? Mengapa dia mampu membuatku betah di beranda rumah setiap sore, menjelang magrib tiba ? Mengapa aku selalu merindukan senyum manisnya, yang sering ia berikan dengan malu-malu ? Melihat penampilannya yang sederhana, aku seperti menemukan sesuatu yang selama ini kucari-cari. Aku yakin, kalau gadis itu mampu menenangkan jiwaku yang sedang bergolak. Ada keteduhan dari sinar matanya. Ada rasa kasih sayang dan aku yakin dia akan mau mengajakku kembali ke jalan yang diridhoi Allah Swt. “Namanya Syarfina, keponakan Pudin. Sekarang dia tinggal bersama 0mnya itu, biar dekat ke kampusnya,” tiba-tiba istriku menjelaskan tentang siapa gadis tersebut tanpa kutanya. Aku kaget. Sungguh mati, sama sekali tak kuduga, kalau secara diam-diam istriku memperhatikan gelagatku. Namun sebagai seorang suami aku tetap berusaha menjaga wibawa dan pura-pura menanggapinya. “Fina itu mahasiswa undangan, dia pintar dan cerdas,” lanjut istriku. Aku tergagap. Tapi istriku begitu cepat mengatasi situasi dengan seketika ia pun berlalu, masuk ke dalam rumah dan terus menuju dapur. Entah apa yang ia kerjakan di dapur, tentu aku tak mau tahu. “Apakah kekonyolanku ini sering diperhatikan ibu dari anak-anakku itu ?” pikirku sambil memeluk rasa malu sendiri. Sejak tidak lagi bekerja tetap, aku jarang sekali pulang siang. Aku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman di luar, nongkrong di kedai Mardanis, membicarakan masalah politik negeri ini yang semakin hari semakin membingungkan. Aku semakin kehilangan pegangan, dan jika matahari sudah menghilang di balik horizon, maka aku pun pergi ke sebuah café, menghibur diri bersama wanita-wanita yang ada di sana. Wanita-wanita itulah yang membelaiku sampai larut malam, wanita-wanita berbau alkohol dan tembakau. Terkadang aku kehilangan keseimbangan, karena tidak hanya alkohol yang menyebabkan aku mabuk, tetapi juga menelan pil-pil setan yang cukup membuat daya ingatku semakin melemah. Sejak aku mengenal Syarfina yang kebetulan tinggal di rumah 0mnya, tetanggaku itu, aku jadi sering pulang menjelang sore. Setelah makan malam bersama keluarga, aku jadi suka menjadi pemirsa televisi dengan beranekamacam programnya. Bosan dengan televisi, kami – aku dan anak-anak- saling bercengkrama. Aku jadi muak mendengarkan siaran berita dan dialog interaktif di televisi, karena sering menggiring opini yang cendrung memperbodoh pemirsanya. Berita-berita tentang gencarnya aktifitas mahasiswa yang memaksakan agar reformasi yang diperjuangkan bersama akhir millennium lalu, hendaknya dilaksanakan secara total. Perkembangan ekonomi yang terasa semakin parah dan harga kebutuhan pokok yang turun naik tak menentu, menjadikan aku semakin bingung. “Apa yang telah dilakukan Syarfina bersama teman-teman mahasiswanya ?” Pikirku. Suatu ketika aku akan mengajak ia bercerita panjang tentang politik negeri ini, dan tentu ketika itulah gadis berkerudung tersebut akan mengagumiku. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Gadis itu justru membuat aku jadi seorang lelaki pemalu. Secara tidak langsung ia berhasil merubah sikapku selama ini. Senyumnya yang menyelinap masuk ke dalam sanubariku, menjadikan aku tak berdaya. Sesuatu yang mustahil, kini terjadi atas diriku. Apakah aku jatuh cinta lagi ? ** Tidak seperti biasanya, hari itu aku pulang tengahhari. Begitu sampai di rumah, kulihat Syarfina dan istriku sedang berbincang. Darahku terkesiap, dan ketika itu pula Syarfina menegurku dengan lembut. “Pulang cepat hari ini, Bang,” katanya. Aku tergagap. “Jangan abang. Panggil Uda saja, ya uda If tak apa,” dengan cepat istriku memotongnya. “Ah… eh taka pa, ya… sama saja… Ehm, kalian akrab juga rupanya..? Kataku sekenanya. “Ya, namanya juga tetangga. Kebetulan saya memerlukan abang, eh Uda sebagai penceramah,” kata Syarfina sambil menoleh pada istriku seperti mohon dukungan. “ Kami mengadakan pengajian dari rumah ke rumah. Jadi malamini giliran di rumah 0m saya, jadi Uda kami sepakati sebagai penceramahnya,” lanjut gadis itu sambil tersenyum. Gila ! ternyata senyum Syarfina dan senyum istriku sama menariknya. Kenapa di saat itu aku baru menyadarinya ? Laki-laki memang selalu begitu. Jika ia bertemu dengan seorang wanita lain yang bukan istrinya dan wanita tersebut punya daya pikat tersendiri, maka ia akan lupa pada kecantikan istri yang sering ia nikmati. “Apa kamu tidak salah? Saya kan orang lapangan yang sama sekali tidak paham dengan pengajian. Apalagi jadi penceramah,” kataku. Pada hal dalam hati aku mau menerima tawaran tersebut. Bukankah itu berarti kesempatan telah terbuka. Pasti dia akan mengagumiku, dan selanjutnya sudah pasti pula akan sering bertemu, mendengarkan ceramah-ceramahku selanjutnya. Tapi, apa materi ceramah yang akan kuberikan nanti malam ? “Ya, Uda kan bisa bicara soal kehidupan sehari-hari, masalah halal atau haram menurut Islam,” katanya seakan membaca pikiranku. Sebelum aku memutuskan apakah mau atau tidak, Syarfina memohon diri untuk pergi. “Saya mohon dulu Uda dan Uni, belum salat nih,” katanya sambil melangkah ke arah pintu depan, lalu menyorongkan telapak kakinya ke sandal yang ia parkir di teras. Aku memang suka memberi ceramah, tapi bukan ceramah tentang agama dengan referensi Al Qur’anulkarim dan Hadist Rasulullah SAW. Kecuali bicara soal politik, tentang perkembangan perekonomian yang semakin morat-marit, masalah angkutan umum yang semakin tak aman, masalah pendidikan dan sumber daya manusia untuk menghadapi tantangan bangsa ini di masa depan. Lidahku sudah terasah untuk berdebat, tentang apa saja. Masalah hukum dan penggusuran rumah liar secara tak manusiawi, atau tentang kebakaran hutan yang asapnya menutupi sinar mentari dan mengancam kehidupan satwa liar, bahkan sampai ke kehidupan manusia di desa dan kota, dan lain sebagainya. Dan karena sering memberi ceramah itu pulalah mengapa aku memilih café atau diskotik sebagai tempat pelampiasan kekesalan dan kekecewaanku. Setahun lalu, aku ditegur atasanku hanya karena dituduh telah melecehkan perusahaan yang membuang limbah seenaknya saja. “Mulai besok, kamu boleh libur panjang sampai saatnya dibutuhkan kembali,” kata pimpinan perusahaan tempat aku bekerja itu. Tanpa menyebutkan apa kesalahanku yang katanya cukup merugikan perusahaan. Bukankah selama ini aku sering mempromosikan produknya pada setiap ceramahku ? Lalu, aku termenung. Dalam keadaan demikianlah aku diajak Fahmi ke sebuah diskotik untuk melupakan segalanya. Musik, joged, alkohol dan wanita, adalah obat stress yang paling ampuh, bujuk Fahmi ketika itu. Berkenalan dengan suasana diskotik yang redup, wanita-wanita setengah telanjang, alkohol, atau pil atau serbuk yang memabukkan. Sebagai juru bayar di perusahaan, tentu saja aku banyak menyimpan uang, dan dengan uang itulah aku membeli kesenangan. Menghamburkan kesenangan pribadi tanpa mempedulikan, gerangan apa yang bakal terjadi setelah itu. Kubeli kesenangan untuk menghilangkan kesuntukan yang menimpaku. Kulupakan semua permasalahan di kantor. Melupakan semua isi ceramahku yang sudah-sudah, yang telah menjebak diriku sendiri. Anehnya, direktur perusahaan itu tidak meminta pertanggungjawaban dana terpakai, bahkan seperti membiarkan sejumlah uang yang masih berada di tanganku. Sampai akhirnya aku menerima surat pemberhentian dengan tidak hormat. Tentu saja aku semakin bingung. Aku semakin tak menentu. Sementara wanita-wanita penghibur yang sering mendengarkan keluhanku semakin sering memburu hanya untuk tips dariku. Aku menjual mobil yang biasa kupakai, lalu menggadaikan sertifikat tanah yang di atasnya telah kubangun rumah yang ditempati istri dan anak-anakku. ** “Saya sudah berjanji tidak akan pernah memberi ceramah lagi. Titik !” Kataku pada istriku, ketika ia kembali mengingatkan kalau malam itu aku harus memberi ceramah di rumah 0m Syarfina. “Tapi ini bukan ceramah politik yang kusut-masai itu Da,” “Lantas ?” “Uda kan bisa bicara masalah apa saja, lalu kaitkan dengan hukum Islam. Ya, sudah. Cobalah, siapa tahu Uda bisa menyadari posisi Uda kembali,” lanjut istriku meyakinkan. “Menyadari diri kembali ? Apakah selama ini kau melihat saya mabuk sepanjang hari? Kataku sambil membentak. Istriku terdiam. Lalu ia bicara lagi, mencoba untuk menjelaskan maksudnya, agar aku bisa bangkit kembali dari keterpurukanku dan bekerja demi menghidupi keluarga. Ia menganjurkan, agar aku tetap datang, meski hanya sebagai pendengar saja. Jadi pendengar ? Mana mungkin itu bisa terjadi. Diam dalam sebuah diskusi atau ceramah ? Apapun bentuk pertemuan yang pernah kuhadiri, aku selalu bicara. Mempertanyakan masalah-masalah kecil yang sering dilupakan dalam sebuah pertemuan. Sehingga aku disebut sebagai “si lidah silet”, yang mampu menyayat sesuatu yang sebelumnya tidak terbayangkan orang lain. Aku sering bicara, menyuarakan nasib teman-teman atau rakyat kecil yang tertindas. Tapi ketika aku tersingkir karena memperjuangkan nasib mereka, justru tak seorang pun di antara mereka yang mempedulikan nasibku. Aku terdiam. “Tapi, Uda belum mandi, belum berwudhu,” kataku melemah. “Ya, saya tunggu. Setidaknya berwudhu saja juga boleh,” “Astagfirullahu al adzim. Ya, oke. Tunggu Uda sebentar,” kataku sambil terus berlari kecil ke kamar mandi. Takut ketelatan, maka aku hanya berwudhu saja, sebagaimana anjuran istriku. Tak lama kemudian, kamipun sekeluarga berangkat menuju rumah Pudin, 0m Syarfina. Setelah duduk bersila, aku pun mohon untuk tidak diberi kesempatan memberi ceramah dengan alasan pengetahuanku tentang keislaman sangatlah dangkal. Namun sebagian besar hadirin mendesak agar aku tetap tampil. Setidaknya, menceritakan pengalaman hidupku. Akhirnya aku tampil juga, menceritakan pengalaman pahit dalam hidupku. Dan ternyata itulah yang paling menarik bagi peserta pengajian tersebut, meski tak sepatahpun ayat-ayat Al Quranul Karim atau Sunnah Rasulullah SAW yang kukutip. Karena memang aku tak menguasainya. Seperti dengan sengaja, kukupas kulitku sendiri, perih memang. Tapi aku terus menguliti tubuhku, karena dari situ kurasakan sesuatu yang sangat melegakan. Membersit kebahagiaan yang hanya bisa kunikmati dalam keadaan keperihan. Aku menahan kepedihan hatiku dan terus bicara dengan semangat tinggi. Tanpa kusadari, airmata meleleh di pipi, dan suaraku yang sebelumnya terasa lantang, lama kelamaan mulai terasa serak. Aku terisak ! “Selama hidup, baru kali inilah aku menemukan laki-laki yang tak berdusta terhadap dirinya sendiri,” kata Syarfina, keesokan harinya. Kulihat mata Syarfina berkaca, dan karena itu pulalah aku kembali membuka kulitku yang masih tersisa. “Sungguh, aku sangat memerlukanmu untuk mengajarku membaca kitab suci, karena hanya di sanalah adanya kebaikan dunia dan akhirat,” kataku. “Belajarlah dengan Uni. Kenapa harus saya ?” “Apa yang Uda minta darinya, ada bersama saya. Marilah kita nikmati keperihan Uda itu bersama,” kata istriku yang tiba-tiba ada di sana. Sekali lagi aku terpana, melihat ke dua perempuan itu tersenyum. Senyum yang kembar. Senyum yang mampu mendinginkan semua setan yang selama ini bersarang di dalam tubuh ini. Mengapa Syarfina yang harus membawaku pada keadaan seperti ini, jika semuanya ada dalam diri istriku ? Sejak itu, Syarfina si gadis berkerudung dengan mata yang teduh itu, tak pernah tampak lagi. Kerinduanku pada senyumnya, ternyata tertumpang di bibir istriku sendiri. Sementara istriku bersama teman sepengajian lainnya, mengadakan selamatan atas keberhasilan mereka mengajakku kembali ke jalan yang benar. Aku suka dijebak seperti ini. Telah dimuat Hr. HALUAN Padang, 1 September . Disalin kembali pada 0ktober 2011 |
Cerpen
Subscribe to:
Posts (Atom)
No comments:
Post a Comment