Translate

Puisi


Maling  Kondang
Kumpulan Puisi
Syarifuddin Arifin

Disain Sampul
Yusrizal KW

Tataletak
Tim Visigraf

Foto
Herisman Is

Penerbitan ke 19 Teras Budaya Jakarta
Alamat
Jalan Raya Lenteng Agung Timur gang. Zakaria no. 80
Jakarta Selatan. Telp/fax: 02132221011
E-mail:remmynovaris@gmail.com

ISBN
978-602-98705-2-7
Cetakan Pertama Mei 2012

Copyright dilindungi oleh Undang-undang No. 19 tahun 2002









PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rachmatNya jualah, akhirnya Kumpulan Puisi Syarifuddin Arifin ini bisa terbit. Sebenarnya sudah cukup lama juga kita mengenal penyair ini, dan puisi-puisinya dalam Kumpulan Puisi NGARAI, 1980 diterbitkan Kolase Kliq Jakarta, dengan pengantar/endorsmen oleh Dami N. Toda, mendapat perhatian beberapa pengamat seperti Korry Layun Rampan, Wahyu Wibowo, Adek Alwi, Hendri Ch. Bangun dll. Tulisannya sering kita jumpai di media cetak (majalah dan suratkabar) terbitan Padang dan Jakarta. Tak lama setelah itu, ia pindah ke Padang bersamaan dengan menurunnya produktifitasnya, hanya sesekali memperlihatkan ‘bayangan’ lalu hilang lagi.
Ternyata penyair satu ini lebih suka memublikasikan karya tulisnya di daerah, meski sesekali ia tampak hadir di pentas teater dan sastra di berbagai kota. Setahun lalu, melalui telepon, kami menawarkan agar sajak-sajaknya bisa diterbitkan Teras Budaya Jakarta, bersama penyair asal Jawa, Hardho Sayoko Spb. Ke dua penyair dengan latarbelakang budaya yang berbeda ini, sudah saling mengenal, sesama aktif di Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Sebagai penerbit buku-buku sastra, kami melihat ke dua penyair ini layak disandingkan mewakili Sumatra dan Jawa, selain tentu keduanya seangkatan. Tapi, gagal dan kami hanya menerbitkan buku puisi tunggal Hardho Sayoko Spb, Penyair Negeri Rembulan (2011), yang telah diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin – TIM Jakarta.
Tidak adil rasanya, bila sejumlah sajak-sajak Syarifuddin Arifin (belakangan terlihat cukup produktif) hanya karena teknis dan lain hal, lantas kami dari pihak Teras Budaya Jakarta, mengabaikannya begitu saja. Namun karena keterbatasan kami di sana-sini, dan semakin menumpuknya order penerbitan dari kawan-kawan berbagai daerah, akhirnya – dengan segala upaya- kumpulan sajak MALING  KONDANG Syarifuddin Arifin ini muncul sebagai hasil produksi/penerbitan ke 19 Teras Budaya Jakarta.
Terimakasih.

                                                                                                                                       Penerbit                    Teras Budaya Jakarta


vi


Membaca Syarifuddin Arifin:                                                                                                                Layar yang Terus Terkembang
Oleh: Dr. Wahyu Wibowo

Apa yang “enak” dari sajak-sajak Syarifuddin Arifin? Sebutan ”Maling Kondang” saja, alih-alih ”Malinkundang”, agaknya cukup membuktikan bahwa penyair ini  telah tiba di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang menjadi hidupnya selama ini.
If – panggilan ”sayang” saya kepada Syarifuddin Arifin – adalah penyair yang numpang lahir di Jakarta ini, asli berdarah Minang dan ”kebetulan” tinggal di Padang, Sumbar. Kebetulan yang saya maksudkan berkelindan dengan tata permainan bahasa sajak-sajaknya yang memang kental dengan aroma seni dan sastra Minang, yang semua orang tahu mengandung nilai-nilai aksiologi yang bukan main tingginya sehubungan dengan kekuatan tradisi budayanya. Bagi saya, If pun bukan penyair baru, karena kami pernah berinteraksi amat intens sejak 1980-an dalam sebuah wadah pencurahan kreasi penyair muda Jakarta bernama Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Di BSI itulah berkumpul sejumlah nama penyair (yang ketika itu masih muda), yang ”entah mengapa” terus saja menulis puisi walau kemudian memiliki profesi yang berbeda-beda, seperti Kurniawan Junaedhie, Adek Alwi, Hendry Ch. Bangun, Pipiet Senja, Salimi Ahmad, Remmy Novaris, Azwina Aziz Miraza (almarhumah), Lazuardi Adi Sage (alm), Rismuji Rahardjo, Rahardi Zakaria dan sejumlah nama lain. Sebagai penyair, ketika itu If sudah memperlihatkan akar estetika kepenyairannya, yang selaras dengan ”semangat keperantauannya”, yakni Minang. Saya ingat betul hal ini, dan mungkin amat paham, karena saya pernah membahas kumpulan puisinya, Ngarai (1980), di BSI. Saya tegaskan ketika itu bahwa If gemar melakukan kolokialisme (penyandingan kata) secara tidak umum, namun kemudian malah menjadikan sajaknya khas, misalnya ia menyebut ”seketat peluk” (umumnya, misalnya, ”sehangat peluk”).
Kolokialisme If ternyata juga tetap mewarnai Maling Kondang yang sedang Anda pegang ini. Dan, ini, sah saja mengingat If ”berasal” dari budaya Minang, yang memang sarat dengan kolokialisme pantunnya. Sebagai penyair yang saya sebutkan telah tiba di dunia estetika kepenyairannya, kolokialisme If itu dapat kita nikmati melalui sajak-sajaknya, seperti ”Padang Panjang”, ”Padang Pariaman”, ”Padang Luar”, ”Padang Bauk”, atau ”Padang Bulan”. Akan tetapi, kolokialisme If itu tidak dapat lagi dikembalikan kepada bentuk umumnya, atau tidak mungkin lagi diperdebatkan melalui perspektif sastra yang strukturalistik. Pasalnya, sebagai cerminan estetika kepenyairannya, sadar atau tidak ia telah melampaui pagar-pagar strukturalistik itu sendiri, sehingga makna-makna sajaknya yang datang kepada kita harus dipahami secara fenomenologis. Ungkapan-ungkapan fenomenologisnya, seperti ”tikungan tajam di mata pedang” (umumnya, misalnya, ”tikungan jalan”), ”darah membeku di rantau jauh” (umumnya, misalnya, ”darah membeku di pembuluhnya”), ”padi ditumbuk ke Thailand” (umumnya, misalnya, ”padi ditumbuk di lumpangnya”), atau ”kenikmatan duri” (umumnya, misalnya, ”kenikmatan makanan lezat”), membuktikan penyair ini teguh dalam gayanya, sehingga estetika kepenyairannya pun dapat terlihat dengan jelas. Bacalah beberapa sub judul dari Sajak-sajak Mengurai Padang di bawah ini.

Padang Panjang
tikungan tajam di mata pedang
turunan terjal licin selayang

Padang Pariaman
ke laut diayun gelombang
ke darat disepoi dagang

Padang Luar
berdiri di pintu dapur
memandang gunung para leluhur

Padang Bauk
darah membeku di rantau jauh
lidah rang minang tetap tersepuh

Padang Bulan
garuda nyasar hinggap di sini
sepantun si pungguk melepas birahi

Padang Sawah
padi ditumbuk ke thailand
kincir menangis terabaikan

Di dalam ”Maling Kondang”, sajak yang lantas dijadikan nama kumpulan puisinya ini, If memotret korupsi melalui kolokialisme ”ia tunggangi pelangi ke negeri apsari” (umumnya, misalnya, ”ia tunggangi kuda itu”). Si ’ia’ lirik di dalam sajak itu oleh penyairnya difenomenologiskan sebagai upaya pembasmian korupsi di negeri ini yang ternyata sekadar wacana belaka. Itu sebabnya, If menegaskan bahwa korupsi pada dasarnya;   
mengalahkan penderitaan rakyat
dari musibah yang mereka dapat

Penegasan  ini memang berkesan nyinyir, cerewet, dan naif, namun kalau kita perhatikan pelesetan tautologisnya dari Malinkundang menjadi Maling Kondang, kita akan segera sadar bahwa If hendak mengajak kita berpikir secara fenomenologis bahwa maling pun bisa kondang, sejajar dengan kekondangan anggota DPR, presiden, gubernur, bupati/ walikota, atau artis. Ajakan If ini setidaknya mengingatkan saya pada pendapat Wittgenstein bahwa pada dasarnya suatu ungkapan bahasa adalah cerminan dari kecerdasan manusia dalam memengaruhi manusia-manusia lain. Inilah yang ”enak” dari If, sebagaimana saya tanyakan pada awal tulisan, karena If berupaya keras (bukti dari intelektualitas kepenyairannya) memengaruhi kita dengan memelesetkan Malinkundang menjadi Maling Kondang. If, sebagaimana telah saya singgung pula, memang telah tiba di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang soul mate-nya selama ini.
Anda tentu penasaran hendak segera membaca sajak-sajak If. Bacalah. Akan tetapi, membaca Maling Kondang, hemat saya, janganlah seperti Goenawan Mohammad yang mengaku dirinya seperti si Malinkundang di dalam kepenyairannya. Membaca sajak-sajak If ibarat menumpang kapal laut yang selalu berlayar, karena If adalah layar pada kapal laut itu sendiri yang terus-menerus terkembang.

Jakarta, 25 April 2012
Dr. Wahyu Wibowo adalah dekan pada Fakultas Bahasa dan Sastra,                                   Universitas Nasional, Jakarta.



x







Identitas Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang  karya                                 Syarifuddin Arifin
Oleh, Cunong Nunuk Suraja
Pengajar Intercultutal Communication di FKIP – Universitas Ibn Khaldun Bogor

Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan mencatat bahwa heterogenitas bukanlah satu-satunya penyebab yang membedakan kebudayaan urban yang mudah disiasati karena masyarakatya yang homogen. ... dalam homogenitasnya pun setiap anggota masyarakat tidak mungkin menjadi individu yang sama dan sebangun dengan yang lain, sehingga berbagai bentuk klasifikasi, perbedaan masih mungkin dilakukan. Sebaliknya, justru dalam kebudayaan urban, iklim industri memberlangsungkan homogenisasi. Hal ini juga sejalan dengan tesis Chris Barker (2003) yang dikutip  Ignatius Haryanto dalam “Menimbang Kembali Imperialisme Kultural dalam Konteks Globalisasi Kebudayaan Awal Abad Ke – 21” di buku Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan suntingan Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto bahwa imperialisme kultural ini berasal dari tesis tentang homogenisasi budaya yang dalam proses globalisasi dari kapitalisme konsumtif menghasilkan hilangnya keragaman dalam budaya. ... imperialisme kultural adalah hasil dari kesatuan proses ekonomi dan budaya yang merupakan bagian dari kapitalisme global.
Globalisasi telah menghilangkan indentitas karena homogenisasi yang dimaui kapitalisme global yang merembet pada perubahan budaya yang oleh Seno Gumira Ajidarma (2008) ditandai dengan komunitas-isme yang menggeser sukuisme sehingga seorang lelaki Minang bisa merasa kurang sreg mendengar “khotbah” tentang berbagai adat suku dari para ninik-mamak yang datang dari kampung. Hal ini tampak dari sebagian besar sajak yang terkumpul dalam Maling Kondang yang tentunya akan merujuk pada kearifan budaya lokal Minang, tercermin dalam legenda Malinkundang  yang berhasil dalam merantau dan pulang menolak kehadiran ibu kandungnya. Lalu karena murka si ibu kemudian mengutuknya jadi batu yang  tersisa pada bait: setajam apapun lidah politikus / membatu hati bak Malinkundang. Perhatikan usaha penyair mencairkan indentitasnya menuju ke budaya global dengan parodi puisi berikut:
MALING KONDANG

duduk di atas angin bermandikan gemawan
melesat menembus langit
nyangkut di bahu matahari
berberita ke bilik tetangga, berdecak kagum
ia tunggangi pelangi ke negeri apsari
bersahut media saling menyebut
saling debat dan beropini

kemurkaanpun mekar jadi dendam
hingga melaut ludah dalam mulut
rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi
tak ada yang bias menyentuhnya
mentari ‘kan menjilat dan memanggang

duduk di kursi angin ia semakin kondang
menjadi maling di negerinya sendiri
katanya bukan korupsi, tapi komisi

setajam apapun lidah politikus
membatu hati bak Malinkundang
debatdengan pakar sekaligus
media berberita berulang-ulang

mengalahkan penderitaan rakyat
dari musibah yang mereka dapat
                                                            (Padang, 2010)

Penyair mencoba memotret dengan kosa kata yang dicomot keindonesiaannya seperti maling, kondang dan nyangkut. Kosa kata yang muncul karena rembesan budaya lokal pada perkembangan bahasa nasional. Sajak yang lain yang mencoba mengunggah  budaya lokal mengglobal adalah sajak Putri Raja di Sarang Penyamun *) (Halaman: 49)
Sajak yang sudah diduga merupakan sikap parodi satire ini memang cukup manjur untuk mengolah kegalauan atas keadaan negeri yang sudah dipotret dalam sajak Maling Kondang. Pembalikan logika cerita yang sudah tersiar sebelumnya menjadikan sajak ini seperti sengaja menghilangkan indentitas budaya lokal yang tentunya akan lebih kental dengan pepatah petitih yang sementara ini dianggap nenek cerewet seperti yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan. penyair memang cukup jeli dalam mengglobalkan kearifan budaya dengan sudut pandang yang diperbarui dan dengan sisipan kosa kata yang mengindonesia maupun menginternasional seperti libido, sadis, spa, sperma, sertifikat, cek, bilyet, borjuis, selebritis, ngompol, kere, asongan, abdidalem, dan kentongan,
Ada sajak penyair ini yang mengolah kearifan lokal yang sangat jitu yakni Ayam Beranak Itik.(halaman: ….). Jika ditilik, sesungguhnya hampir semua sajak-sajak SyarifuddinArifin  dalam Kumpulan Puisi MALING KONDANG  ini bernada getir dan satire, terutama selalu mengaitkan dengan pola kehidupan politik- budaya Indoneia saat ini. Maka tak pelak kalau anak itik yang dibesarkan ayam pun mampu meleter:
“berkoteklah sampai berbusa mulutmu,
aku akan terus menyeruput lunau
yang tak bisa kau kais dengan cekermu”
                         (Sajak; Ayam Beranak Itik, hal.  42)

Syarifuddin Arifin juga tak lupa mencoba mengglobal dengan gaya puisi haiku Jepang yang terkenal, walau tak juga melupakan warisan tradisinya pantun dan gurindam (simak Haiku: Galau (hal….) dan Mengurai Padang (hal…)  seperti paparan Nirwan Dewanto dalam temu sastra di Bogor pada acara memperingati kedikdayaan Chairil Anwar yang sajak-sajaknya ditilik lebih membumi, walau dalam kadar tradisi lanjutan: Saya telah menekankan Chairil Anwar sebagai penerus tradisi persajakan sebelumnya…... Di titik ini saya hedak menekankan bahwa sajak bebas pun sebuah konvensi, khususnya konvensi dalam khazanah puisi moderen se dunia, dan dengan ini Chairil Anwar menyatukan dengan sastra dunia se zamannya. Dengan kata lain, sajak bebas pun adalah hasil disiplin yang tersendiri. Pun dalam khazanah kita, Chairil Anwar bukan orang pertama yang mengerjakan sajak bebas; sejumlah penyair Pujangga Baru seperti Roestam Effendi. J. E. Tatengkeng dan Amir Hamzah pun sudah melakukannya.

Daftar Pustaka:
Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto. tanpa tahun. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan.Depok: Penerbit Koekoesan
Nirwan Dewanto. makalah di Forum Sastra Bogor, 28 April 2012, Situasi Chairil Anwar. belum dipublikasikan.
Seno Gumira Ajidarma. 2008.Kentut Kosmopolitan. Depok: Penerbit Koekoesan

xiv










Terimakasih
Tanpa bantuan dalam bentuk ide/pemikiran, dukungan moral, tenaga, dana, perkoncoan maka Kumpulan Puisi: MALING KONDANG ini tidak akan pernah terbit. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terimakasih kepada:
Padang: Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Hasanuddin WS, Nasrul Azwar, Sastri Yunizarti Bakry, Yusrizal KW, Hermawan, Mahatma Muhammad, Muhammad Ibrahim Ilyas, Halvika Padma. Jakarta: Sjafrial Arifin, Sastri Sunarti Sweeney, Wahyu Wibowo, Adek Alwi, Remmy Novaris DM. Semarang: Heru Emka (alm).Wonosobo: Ika Setyana Wirawati. Bogor: Cunong Nunuk Suraja. Aceh: LK. Ara, Hermansyah Adnan, Said Mahiddin Muhammad. Prawang Riau: Maman Yuherman. Pekanbaru: Herisman Is. Batam: Yus Marni. Malaysia: Dato’ SN. Ahmad Khamal Abdullah-Kemala (Kuala Lumpur). Belanda: Suryadi Sunuri (Leiden). Hongkong: Dianing Rizkie.Utami
Teater Nan Tumpah Padang, Taman Budaya Sumbar, Teras Budaya Jakarta,
Kelompok Studi Sastra Bianglala, Dapur Sastra Jakarta,
Nusantara Melayu Raya (NUMERA)
Malaysia
  (syarifuddin arifin)

xv


DAFTAR  ISI



Pengantar……………………………………………………………………..……………  v                            Membaca Syarifuddin Arifin; Layar yang Terus Berkembang oleh                                                      Dr. Wahyu Wibowo……………………………………………………………….……….        ix                                              Identitas Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang  karya                                         Syarifuddin Arifin oleh Cunong Nunuk Suraja………………………..……….….. …..        xi                             Ucapan Terimakasih………………………………………………………….………….     xv                       DAFTAR ISI ………………………………………….………………       …………        xvii
Lembah Anai ………………………………….………………………………………        1                                  Biduk Berlalu …………………………………………………………………………         2                              Bayi pun Menipu Tajin……………………………………..………………………….     3                      Perkawinan Renta…………………………………………………….………………..    4                       Kenikmatan Duri…………………………………………………….…………………                5                        Mencangkul Api………………………………………………………………   ..……     6                           Setangkai Amsal……………………………………………………………………                  7                                            Bom …………………………………………………………….……………………        8                                       Bus…………………………………………………………………………….…..…           10                                 Lapangan Segi Tiga…………………………….……………….……………………          11                                     Bukan Padi Buahnya ………………………………………………………………...          12                             Kerinduan yang Pecah………………………………………………………………            13                                        Ah, Itu Bukan Bunga …………………………………..…………………………..            .           14                                            Terjebak ke Dalam Kancah………………………………………………………….            16                                                         Lalu Kita Menari ……………………………………………………………………            17                                                              Petaka Pataka……………………………………………………..………………...             18                                       Bedil Serumpun Bambu…………………………………………………………….             19                                    Murka yang Mendesak……………………………………………………………..             20                                      Rindu yang Terbang ………………………………………………………………..                        21                                     Gelombang Dalam…………………………………………………………………..            22                                  Peratap Mayat ……………………………………………………………. ………..            24                                       Rindu Benalu………………………………………………………………………..            25                    Kontradiksi………………………………………………………………………….                        26                               Bengkalai Utopia …………………………………………………………………...            27                                                 Gonjong Patah Dua………………………………………………….. …………….                        28                                           Terrtikam Bayangan ……………………………………………………………….              29                               Sepantun Daun Ubi…………………………………………………………………                        31                                            Rindu yang Terbelah ……………………………………………………………….             32                                       Cinta Kartika ……………………………………………………………………….                        33                                                  Dan, Malam di Kamar Kembali Sepi…………………………………….................             34                         Menggenggam Jejak………………………………………………………………...            35                                      Ketika Bumi Menggeliat………………………………………………………………         36                                          Apa yang Lebih Sejuk………………………………………………………………...         37               Astaghfirullah…………………………………………………………………………         38                                                                Maling Kondang……………………………………………………………. ………..         39                                                             Bulan yang Lain ………………………………………………………………………         40                                                            Beginilah Jadinya……………………………………………………………………...         41                                                                Ayam Beranak Itik …….……………………………………………………………..         42                                                                 Ngilu ………………………………………………………………………………….         43                                                                   Kepinding  *)……………………. ..………………………………………………….         44                                                                   Batu Dalang ……………………………………………………………………………       45                                                                Aku Nyaris Lupa, Kekasih! ……………………………………………………………       46                                                  Dendamlah Angin ……………………………………………………………………..        47                                                           Sumpah Seperinduan ………………………………………………………………….        48                                                                    Putri Raja di Sarang Penyamun *)……………………………………………………..        49                                                                             Ketika Ibu Pergi …………………………………………………………….. ………..        51                                                                 D e b u ……………………………………………………………….. ……………….       53                                                           Mengurai Padang………………………………………………………………………        54                                                           Di Pintu Komatkamit ………………………………………………………………….        59                                                          Tekateki Purba  ………………………………………………………………………..        61                                                           Lagu Sesuka …………………………………………………………………..                     63                                                                      Tali Tiga Sepilin ………………………………………………………………                     64                                                                   Di Negeri Pelacur yang Pekak ………………………………………………………..         65                                                               Zikir Kalbu…………………………………………………………………………….         67                                                                        Aroma Malam …………………………………………………………………………        68                                                              Tersebab Benalu ……………………………………………………………………….        69                                                                  Haiku: Galau …………………………………………………………………………..        70                                                                  Komisi di Secangkir Kopi……………………………………………………………...        71                                                             Hamil Tikus ……………………………………………………………………………        72                                                                       Mata Siapa dalam Bayangan?.........................................................................................        73                                                                 Aku Bukan Merampok ………………………………………………………………..        74                                                               Takut Taktik ……………………………………………………………………………       75                                                                      Demi Setetes Embun ……………………………………………………………………     76                                                                  Menyepak Siang ………………………………………………………………………..      77                    Berkemaslah!...................................................................................................................       78                                                       Syarifuddin Arifin (Curiculum Vitae)……………………..……………………………      79

xix



Lembah Anai
rel kereta api meringkuk dingin
sejumlah kera menggaruk perutnya
kudengar pekikmu sambil meronta
dan jembatan besi yang diam termangu
mencatat kemesraan yang tertunda;
                                                         bibirmu mengatup ketakutan!

air terjun memercikkan embun
melumutkan bebatuan
meriak kenangan masa kecilku
lembah yang hijau dan terowongan
menembus bukit batucadas
aku menyimpan kengerian;
                                           memeluk buntalan di pangkuan!

inilah lembah pertama yang kukenal
lembah anai yang rimbun meniupkan embun
membawaku terbang ke masa lalu
keperawanan hutan dirampas begitu saja
kera-kera itu berloncatan
dari satu pohon ke pohan lainnya
berayun lalu mencibirku
menadahkan tangan mungilnya;
                                                  di hulu air mengeruh sampai ke hilir!

                                                                                                            (Lembahanai, 2001)


Biduk Berlalu

tak ada yang berkayuh hari ini
tapi biduk itu meluncur jua
menikam jejak yang tertinggal
berlalu begitu saja

menyeret danau kenangan
menyeret nasib petani ikan

muara yang diam
menyuburkan encenggondok
menimbun permukaan air
biduk membelah
lalu bertaut lagi

menghilangkan riaknya
menghilangkan gambarnya

tak sedayung mendusta waktu
memburam gambar diamkan riak
nasib berkuyup masa lalu
biduk lewat kiambang beranjak

biduk pincalang mengumandang
irama sumbang di mana-mana
mendendangkan menidurkan
lalu terbenam ke dalam mimpi

terngiang-ngiang di tengah padang
keramba menyisakan ikan lekang

                                                            (Maninjau, 2001)



Bayi pun Menipu Tajin

apa yang kita inginkan dari sebuah pesta?
haus dan lapar telah ia sempurnakan
orang-orang berjingkrak, lalu tertidur pulas
dan bermimpi tentang demokrasi versi negeri ini
berapa banyak mereka yang kita laparkan
lalu menipu bayi dengan kempeng atau dot
dan bayi-bayipun menipu kita dengan tajin

busung lapar, rawan gizi membawa keranda
lalu diarak ke sebuah upacara
mematikan potensi yang bernas
dan membuangnya ke laut lepas

ada senyum yang tak kita inginkan
mayat terapung-apung dibelai gelombang
dan terdengar pernyataan;
            “semuanya tersalurkan!”

angin laut membawa kabar
sambil menyelam mencari keajaiban
dan tertidur selama-lamanya
selama-lamanya

                                                            (Padang, 2001)



Perkawinan Renta

ketika renta kawin lagi
cincin belah rotannya
retak ditimpa airmata
                                     (Padang, 2002)



Kenikmatan Duri

aku tahu kalau hidup perlu kemudi
tapi pendayungku cuma satu
kau pun tahu kemudiku penuh duri
tapi duri itulah kenikmatan semu

kita tahu pelayaran hidup ini
menuju ke sebuah titik
tapi mengapa titik menjadi pasir di pantai?

kita memerlukan kemudi
hanya satu, tanpa duri, tanpa pasir
tapi ombak mengasahnya sepanjang hari
membiarkan cinta digores birahi

kenapa kau berteriak menahan perih
sambil mengelus-elus borok sendiri?
(Padang, 2002)





Mencangkul Api

begitu letih keringat mengaliri semangat membakar, berbuih-buih
monoton, lalu memaksa dedaun melambaikan tangannya tanpa setiup pun
angin yang mampu mengatur ritme pernafasan yang semakin sesak ini
bagaikan gendrang bertalu terus mendambun-dambun dada yang keropos ini
lalu bergolaklah api, melambai-lambaikan cangkul di mata yang memerah
dan menulis di selembar angin yang terbang mengawan membawa
kabar tentang ketakmengertian

orang-orang berteriak parau, aku mencekik adrenalin yang tumpah, membenamkan
api sampai air bernyanyi pada suhu lebih seratusdrajat; glokglukglokglukglokgluk
dan api terus melambai mencangkul; cangkul yang dalam, sampai berderingan
air mengabarkan uapnya

                                                                                  (Jakarta, 2002)

Setangkai Amsal

amsal tak lagi disukai
tapi ia selalu datang dan tak pernah mau pergi
meski sejumlah tanda-tanda telah ia tawarkan
untuk dimaknai

amsal dituding sebagai biang
yang menjadikan semua gatal dan suka berandai-andai
melihat angin yang melesat tajam menyayat sembilu
lalu memberondong bagai anak panah lepas dari busurnya
menancapkan keyakinan di balik ketakadilan

lalu amsal digugurkan dari pohonnya yang rindang
daun yang mengering bermain dengan angin
begitu asyik membuat bola-bola lalu mengerucut
pada tangkai yang tak sudi

amsal menangkap beribu makna, lalu menebarnya
pada tanda-tanda dan mencabut keyakinan
yang tertancap pada ketaksukaan

                                                            (Padang, Sept 2002)



B o m

begitu indah goyang pinggul penyanyi dangdut itu
orang-orang menghentak, meliuk bagai layangan di udara
mengalun bersama cuaca yang benderang

(tak terduga di belakang angin yang bertiup santun
seekor harimau terbang memangsa semua kegembiraan itu)

betapa sulitnya menyusun strategi
menepis gabak yang menutupi mataangin
delapan penjuru telah diracik kesengsaraan
mengintai setiap jejak
jejak siapa yang bukan alif?

(sejumlah langkah terantuk di balik spanduk
 lalu angin kelabu membelai kisah cinta terbaru
 sejumlah sumpah diterbangkan angin ke pangkuan
gabak yang legam jatuh di hulu sungai
mengabarkan keperihan sampai ke muara)

bau belerang  aroma dan parfum bagi sebuah perjuangan
bagai seekor onta menarik langkah di teriknya padang pasir
menghela nasib harimau bagaikan kucing yang dibuntingi tikus

(tapi kucing meringkuk dalam asbak
menyatukan abu rokok yang menyulut dada
setiap anak bangsa yang mengaum  lewat radio dan televisi
mencari punggung siapa yang bungkuk di antara kita)

merdeka !
dan meledaklah kegembiraan itu
di atas penderitaan kita

masihkah goyang sumbang itu
mampu menyatukan kanak-kanak
di lapangan merdeka, sementara kita
berpesta dengan ketakutan?

                                                                        (Padang, 17/8-2003)



B u s

setelah memetik bunga di halte itu, aku meloncat masuk ke dalam perut bus dan menikmati aroma beraneka warna tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarku
setelah layu, aku pun singgah di halte berikutnya
entah berapa stopan bus yang kusinggahi dan meninggalkan bekas pada setiap tangkai bunga di sekitarnya. banyak kota dan ribuan kilometer telah mengantarku dari satu terminal ke terminal lain, dan anehnya aku tak pernah tahu bus-bus yang telah memabukkanku di sepanjang perjalanan hidup ini.

tapi jalanan itu menggerincing bagai rantai ditarik musik sumbang dan berkali-kali aku meleleh memekikkan persatuan, bersipongang dari barat ke timur
dari kanan kuucapkan
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
lalu menoleh ke kiri

dari dalam beraneka bus
aku belajar memahaminya      
                                                            (Padang, Juni, 2003)




Di Lapangan Segitiga

di lapangan segitiga
kita bertarung;
di dua sudut empatlima
kau pancang bambu dua buku
lalu di sudut sembilanpuluh
kau kibarkan pusaka ibuku

kau membentang kain panjang
dan memaksa aku menulis puisi
di atas tubuhmu kencang sangat
merumputlah sapi sambil mendengus
benderamu berkibar lagi
mengklepak-klepak tertiup angin

            “aku suka bambu dua buku
              di setiap sudut itu,” katamu

lalu bambu itupun aku makan
menggelepar di lapangan segitiga
kulihat sebaris bebek pulang petang
menjatuhkan telornya begitu saja
senyummu mengantarkan puisiku
entah ke mana
 (Sawahlunto, 2003)




Bukan Padi Buahnya

bukan padi buahnya, merunduk padang ilalang
aku jadi kenyang pada lapar yang sempurna
terdengar provokasi, intrik, yel-yel
serombongan pipit mematuk-matuk ilalang
mengalahkan keperihan kehidupan,
bersarang di balik perdu
irigasi mengering, bendungan di mata ini
tak kunjung bobol juga
 
di tengah padang, spanduk terbentang
ada seikat padi dalam gambarnya ;
                        “Bila menang semua akan kenyang”

tapi seekor biawak dalam semakpun tak suka
bau kerisik yang anyir. diam-diam ia menyergap
sepasang puyuh yang asyik berkayuh
menyisir silet di ujung ilalang

sawah membungkuk disepoi bayu
berserpihan bunga rumput
kekenyangan jadi lapar yang sempurna
pemilihan umum menimbun dusta
sejumlah proposal bertebaran
bagaikan sawah menuai lapar
mata ini semakin perih di tusuk ilalang

kekuasaan semakin terik!
(Padang  2004)




Kerinduan yang Pecah

semakin sulit dimengerti,
kerinduan menjelma bagaikan seekor monyet
yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya
lalu mematah ranting yang rapuh.

apa yang terjadi di kamar percintaan kita?

asap itu bergumul melawan angin yang berkesiur
lalu memecah pada atmosfir lain
membentur sebuah kaca tipis yang menyimpan utopia

siapa yang bercinta dalam gelas  anti sentuhan itu?

berlari membawa piala kosong
ingin menuangkan kerinduan
tapi awan berarak dan menjatuhkan
hujan  bagaikan pasir menimbun gunung

siapa yang  mengais airmata menjulangi langit?

mampukah kita menggapai sebelum kulit ini mengelupas
sebelum pecah berderai-derai
lalu monyet-monyet itu memamah sambil mengalai?

(semakin banyak yang kehausan, semakin membludak yang merindukan kasihsayang, semakin tinggi angka kemiskinan, semakin jauh fatamorgana,  semakin meregang jantung dan hati.)
                                                                                                                        (Padang, 2004)



Ah, Itu Bukan Bunga

ah, itu bukan bunga
ia tumbuh di sepanjang jalanan
menuju kampung halaman
mengangguk digoyang semilir
menanti sunsang dari hilir
tapi ia berkabar di televisi
tentang bunga mekar warna-warni
ah, itu bukan bunga
kembangkanlah kembang
di sepanjang jalanan
bagai pawai anak sekolahan
mengibarkan misteri anak negeri
berhujan berpanas menanti
siriga-riga layu alangkah pahitnya

ah, itu bukan bunga
yang melantunkan desau dedaunnya
membentur dinding gedung-gedung kaca
menebarkan sari di lelangkah mangsanya
memeluk dan mencekik lewat aroma
menebar senyum berjuta janji
di bibirnya silet berbungkus tebu
mengirim derita perih bak sembilu

ah, itu bukan bunga
jangan berharap banyak
sarinya racun kembaran tuba
digiringnya kita bak kerbau
dihalaunya kita bagaikan bebek
ia bergerak sunsang atas kuasa
memakan melumat siapa saja
pahit si bunga pahit
mekar sepanjang jalanan
menuju istana
menuju surga
 (Jakarta, 2004)




Terjebak ke Dalam Kancah

ini bukan mimpi;
mandi hujan, lalu main siram-siraman
di langit sana menggelantung
bertandan harapan
tiba-tiba gabak memburu dan  menerkam
mentari disungkup kelambu buram
aku menggigil, kota jadi gulita

ini bukan impian;
makan bersama, semeja dengan mereka
mulut siapa berkuah darah ?
bagai rendang melenguhkan sapi
bergulung di perut ini, lalu muntah
perih menggelepar kepedasan

ini bukan kenangan;
melenggang di pasar lengang
ribuan jejak tak bertuan
menggenggam bintang jatuh berderai
dari pundak partai
terjebak ke dalam kancah
berkuah lanyah

                                                            (Padang, 1996 - Jakarta, Agustus 2004) 



                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Lalu Kita Menari

meluncur sejumlah galon, muncrat dari tanah
menyusubsidi kemiskinan, mendesak kerongkongan
berduyun pasir menampung di telapak tangan
siapa yang mampu membunuh kesengsaraan?
sementara kebodohan semakin dininabobokkan

bau beras menyengak kumbang
setiap hari mengorek jendela rumah mereka
daftarkan segera semua hutang primer
bengkakkan kaki mendesak kartu miskin
yang bertahun lamanya kau rindukan itu

lalu kita menari
di atas kebangkrutan negeri ini
                                                            (Padang, 2004)



Petaka Pataka

maka berkibarlah
panji-panji beraneka warna
mengalahkan pelangi
yang melengkung di kala senja

menanam tebu di bibirnya
bak seulas jeruk manis
sepantun durian matang
mengirim haus dan lapar
pada aroma dan kuning emasnya

lalu bersipacu pataka itu
saling patah mematahkan
dan petakapun datang
menghanyutkan sukma
menimbun pelangi senja
menguapkan segala aroma
dan,
menyisakan kegelisahan
di sesama kita.                        
(Depok, 2004)



Bedil Serumpun Bambu

beberapa bedil berdiri saling bersandar
larasnya menganga menghadang langit
asap tipis bau mesiu
menghembuskan keringat tuannya
mengerang menahan perih miang bambu
pekik serine dan derap sepatu
sumbang di denyut dada

seikat bambu runcing mengetatkan buku-buku
bau anyir darah membeku
bertiup dalam sejarah
mengaliri dendam menyeringai
menantang bedil melepas ikatan

siapa penguasa mentari?

di negeri rimbun subur tanahnya
bulan meniupkan ketenangan batin
tapi matahari menjaring gelisah
meski bambu bermiang itu
memeluk bedil yang mendongak
saling menganga;
     - menanti mangsa!
                                                                        (Aceh, 2004)





Murka yang Mendesak

kemurkaan mendesak di dada ini
ketika penari yang meliuk itu
tercekik pinggangnya
saudaraku memburu kekuasaan
saling menindas, saling menghina;

“akulah yang maha benar!”

kemurkaan yang lama mendekam
begitu sulit menerjemahkannya
membuang rupiah di gedung mewah
memecah nikmatMu
saudaraku membeli bibir
orang-orang gagu
lalu menyewa lidah si bisu

dengan senyum kau suburkan
penderitaan ini

                                                            (Padang, 2005)




Rindu yang Terbang
sia-sialah bila masih saja terbang melingkar
lalu sayappun patah, jatuh tersungkur dan terinjak pecah jadi noda
sementara yang lain meronta kesakitan, berteriak pilu;
                                    miskin, miskin, miskin
                                    lapar, lapar, lapar,
                                    dingin, dingin, dingin,
                                    sabar, sabar, sabar.
ke laut berenang rindu, ke langit terbang rindu, ke darat meradang rindu
siapa yang tak ingin melayang menyapu awan, menyelami keindahan karang
dan terjepit di antara reranting kayu pencipta dollar?

angka kemiskinan terus bertambah, tumbuh subur bak cendawan
mereka yang lapar terus dimamah, penawar kolesterol dan lemak di badan
dingin semakin akrab, semakin nyeri tulang belulang disapu lembut gemawan
lalu terkapar menahan perih, dengan penuh kesabaran

kaupun terbang melayang meninggalkan jejak
dalam proposal kemiskinan

duh!

                                                                        (Padang, 2005)




Gelombang Dalam
                              
bangun pagi angin membadai
berdesir dada ini, lalu mengaum tak terkendali
terlalu banyak yang harus dicerna, segelas air dingin
telah membasahi kerongkongan, dan seketika
mengamuk bagaikan gelombang dahsyat
yang akan menyungkup sebuah pulau

orang-orang berlari mengejar ketinggian, gelombang berada dalam tubuhku

sementara sepasang remaja menciptakan surga, berurai airmata
menggeliat bagaikan seonggok ulat yang menggelepar kekenyangan
hingga gelombang dahsyat itu menenggelamkan keyakinan mereka
lalu jalan terhuyung bak gempa meluluhlantakkan sebuah kota
           
lari kemana? gempa di dada kita berdentum hingga menanggalkan keyakinan

di gugusan bukit barisan, kusaksikan bunga bermekaran
menebar aroma kehidupan dan suara unggas
memadu irama keceriaan pagi
mentari sepenggalan, tapi kota jadi sepi
dan kerinduan terabaikan begitu saja
tak ada yang tahu, siapa yang dipilih Nuh naik ke kapalnya
yang bersandar perkasa di dada gunung

sebuah kapal nongkrong di perkampungan jadi tontonan tanpa airmata

kisah itu kini menjadi konsumsi kita
sebuah kenyataan telah meremas kemanusiaan
gelombang dalam, paling dalam berdetak di dada
dan darah tak pernah berhenti mengalir
menyaksikan penanggalan lepas satu per satu
menikmati siang dan malam silih berganti
sambil melafaskan keagunganNya
kenapa kita masih saja tak membaca?
fenomena alam adalah guru, pemikul dosa muridnya
yang kini jadi koruptor dan penguasa tak berhiba

diamlah gelombang dahsyat, berhentilah mendambun dada yang keropos ini.

asma Allah yang dipekikkan dari menara masjid, tetap saja
jadi penanda waktu,  menggarap bumi hingga keringat berdarah-darah
lalu menggelombang menghanyutkan keyakinan
dan gempa yang dahsyat telah melepaskan jantung-hati kita

Nuh pun berkayuh mengikuti zaman, penumpangnya penuh keceriaan

selagi tak mampu melumpuhkan gempa di dada
maka muntah itu tetap saja kumuh
amis dan menjijikan.                                      
(Padang- Aceh- Padang, 2005 - direvisi 2010)





Peratap Mayat

demikianlah, perempuan itu akan selalu meratapi mayat
setiap pelayat datang, ia buraikan airmata berloki-loki
dilantunkannya lagu sedih sambil terus menggapai dan menggapai
tersingkap kain di betisnya putih bak umbi
memeluk dan mengguncang jenazah bagai membangunkan anak
yang selalu menggeliat setiap bangun pagi

setiap pelayat menghampiri mayat ia kembali meratap
menguras airmata mendendangkan kebaikan almarhum
menangisi nasib peruntungan meliukkan kaki dan tangan
menyesali bahkan mengutuk kematian
menyerapahi penyobek kafan
mempradugai air pemandian
ratap dan tangisnya membasahi jalan menuju kuburan
bagai mabuk alkohol ia merayapi tanah gembur galian
sambil terus berpantun bergurindam berkulindan
menyergap pengusung keranda dengan kesedihan

demikianlah, ia meratap menangisi setiap ada yang pergi
memeras airmata parapelayat memendungkan suasana
di mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu
menyiasati irama sumbang tentang kematian

dan, ketika perempuan itu meninggal
tak ada yang meratapi mayatnya
tak ada yang menangisi jenazahnya
tak ada yang melantunkan dendang sedih
tak ada yang menyesali kematiannya
tak ada airmata

                                                             (Padang, 2006)




Rindu Benalu

bagaikan benalu yang menghisap tempatnya berpijak, meregangkan cambium yang tahan segala cuaca, kau berteriak dari atas podium lalu memecah atmosfir kehidupan negeri ini menarik neraca angka kemiskinan lalu merangkak ke negeri lain meminta (memohon) bantuan atas segala bencana
tapi bencana demi bencana, silih berganti datang menimpa tanpa air mata, karena airmata telah menghanyutkan kerinduan pembunuh benalu yang diam-diam mencakar dan mencabik kemanusiaan kita
Tuhan! campakkan mereka ke nerakamu, karena selalu merindukan benalu di atas penderitaan kami
                                                                                                (Padang, 2006)



Kontradiksi

di hutan belantaraku
tumbuh pohon emas
mencuat tinggi bagaikan monas
subur merimbun memuncratkan gas

di jakarta kotaku
sawah dan ladang mengering
gajah terduduk kehilangan gading
migran menumpuk diiming-iming

                                                    (Jakarta, 2007)




Bengkalai Utopia

masih saja bengkalai itu tegak kokoh
berpuluh tahun berhujan dan berpanas
tanpa lumut dan ulat-ulat kecil yang biasa menggerogotinya

 lalu setetes minyak telah mengharumkan semua
tanpa aroma kimia yang didatangkan dari italia
 tanpa keinginan spionase yang menelisik sebuah kejanggalan

kita menikmatinya
 menahan kepedihan yang kian mendalam

dagu lebah menjuntai di bawah bibir
sepanjang waktu menabung manisan
lalu seulas senyum madu
 menikam jantung hati kaum papa

siapa yang berani menginjak
lebah yang mendengung di bawah dagu itu?

bengkalai itu semakin kokoh
tetap saja menjadi monumen kemiskinan 
di negeri penampung airmata
dari ratusan juta warganya
negeri yang kaya raya
busung lapar penyakitnya

berpuluh tahun menanti
utopia!

                                                (Padang, 2007)




Gonjong Patah Dua

dara siapa yang tersenyum manja
setelah meluruhkan kasai dari mukanya?

mendongak ke barat sana
membiarkan lanyah-lanyah
mengeringi  dadanya
meliuk bagaikan penari India
pusarnya bertindik berlian mengerdip
nanar datuk ulah kemenakannya

rumahgadang dikerubuti anai-anai
gonjongnya yang dulu kekar menantang angin
kini tampak terkulai, letih menanti penyangga
penghulupun hanyut ke muara
mengharungi lautan menjaring untung
dari jauh ia terpana melihat api melambai
lalu debu di tunggul kayu yang melapuk itu
pun ditiup angin melimbubu

ke mana si anak dara yang setia menanti?
bersipongang anjing melolong tengahhari
ibu terbaring lemah;
gonjongnya patah!

                                                (Padang, 2007)




Tertikam Bayangan

gelanggang apakah ini, cahayanya membias
wewarna saling silang menusuk kebahagiaan
tak pernah melepaskan diri dari kerinduan malam
yang ditimbun embun, pentilasi tak berdaun
warna apa yang begitu kuat untuk sebuah kenikmatan
atau saling mengintai kemisterian cinta

ada bayangan dalam kolam, menciptakan narchisus
dan mencekiknya pada kepuasan pribadi
wah! siapa yang terbunuh akibat kekuasaan
yang mengalir begitu deras mengungkung arus
membiarkannya hanyut bersama mimpi

semakin abadi sebungkah batu
yang dibelai malingkundang
karena debur ombak membeku di dadanya
dada gunung angkuh, longsor ditraktor
lalu cinta berpasir-pasir hanyut ke hilir
mengalahkan semua kelembutan
rembulan
sampai hari ini masih saja menjebak
padahal kita telah mencatat
pohon di tubir itu tumbang dan pekik peri
perpisau-pisau

narchisus muncul sambil bersolek
tanpa kaca (tak membanding)

akankah berlama-lama
perenggut kenikmatan
membunuh cinta
yang Kau terbarkan ?

di ranjang berlian
malinkundang dan narchisus
meletakkan beban pelan-pelan
lalu menyatu, anginpun berhembus.
(Padang, 2007)





Sepantun Daun Ubi

sepantun daun ubi
tak berpucuk di mulut bandot
kau telanjangi ibu pertiwi
berbungkus dedaun anekdot

tak ada topeng aku merunduk
terantuk kerikil si batu aji
keringat dingin menguap di tengkuk
aku nanar menantang mentari
tersenyum juga sambil mengutuk
lalu saling mengangguk basabasi

bertamu ke rumah tetangga
nampaklah kacaunya kamarku

sepantun daun ubi
kambing dan aku
(Kualalumpur, Des 2007)




Rindu yang Terbelah

ketika di dada ini menyala kesumat anak negeri
rindu yang lama terpendam tiba-tiba membelah
saling mencakar wajahnya
saling mengasah lidah melebihi silet
mengasah kuku mencengkram kekuasaan
sampai berderik-derik

lalu rindu menjelma bagai seribu jarum
menusuk belulang, menghisap perih
derita anak negeri yang membatin
terbelenggu dalam tubuhnya
kenapa diam dalam zikir
jadi tak sempurna ?

kurasakan salju ketika di dada ini
menyala kesumat membelah rindu
yang berderingan jatuh bagaikan kristal

                                                            (Padang, 2008)


Cinta Kartika
(pada mak Rosnani Sulong)

mengalir mulus drama siri itu, kumaki dan kumaki lelakiku
mengerling kartika di hospital mendarahi turunan danau maninjau
airnya menyebarkan cinta berbunga-bunga ke semenanjung ini
menyekat di pembuluh pembukuan bambu ketemu saudara sepesukuan
lalu pada bibir yang sama lelakiku berontak; tahan libidomu sayang!

diayun riak gelombang selat melaka memerihkan mata hati ini
kartika bercinta kulakonkan di tanah melayu putus nyambung ke muara
bertaut pantai sumatra dan pulau-pulau kartika meniupkan angin kembara
aku rindu mak; lakonmu semerbak ke mana-mana!
 (Kualalumpur, 2008)





Dan Malam di Kamar Kembali Sepi

dibelainya angin itu, lalu iapun menghirup kesegaran dengan sempurna
dadanya mengembang, menebarkan aroma kehidupan
sambil meliukkan tubuh bagai penari, ia melenggok di setiap ruang
dan malam, di kamar kembali sepi
sendiri!

telah ia reguk nurani, dan menyampakkan kelelahan yang sangsai
ia pungut pujapuji dalam keterpurukan harga diri menabung sijil
berlembar-lembar, berhelai-helai

kepuasan selalu menggedor dan menggedor egonya hingga semua gapai
menjadi sayup-sayup sampai, ditiup angin ke segala penjuru yang ia kejar
berlelehan telapak kaki di jejak penuh lanyah sambil terus memintal jaring
pada garis-garis cahaya mentari
dan malam, di kamar kembali sepi
sendiri!

menjelang pagi, dijengkalnya ranjang dengan jari, dan fajar menjilati embun
dijegalnya dengan kaca melantun pada bayangan yang ia benci
diam-diam ia pungut panas mentari sepanjang siang, membakar hangus
perintangnya pada catatan kusam negeri ini
dan malam, di kamar kembali sepi
sendiri!

                                                      (Bukittinggi, 2008)




Ketika Bumi Menggeliat

semalaman hujan mengguyur kotaku
setelah tanah tempat kami berpijak menggeliat
dan merontokkan segalanya
Kau mengirim dingin pada anak-anak
yang berselimutkan dedaunan
kegelapan semakin gulita!

inikah kepahitan empedu
yang  kami rindukan dariMu?

lalu  suara tangis melepas mereka yang pergi tiba-tiba
dengan tangkas israil melaksanakan tugasnya
aku menggigil,
mengaktifkan kamera;
hitam dan bayangan tak menentu
keangkuhan teknologi pun terkulai lemah tak berdaya

lautpun tersenyum, dan berbisik mesra;
                   tak ada lidah ombak
                   yang akan menerkam kalian!

tapi semua orang berlari menjauhi pantai
mengejar kaki gunung yang lunglai.

gempa itu, merubah kotaku
bagaikan nenek yang nyinyir
(Padang, 2009)





Apa yang Lebih Sejuk

apa yang lebih sejuk
dari seketat peluk
kau terbenam dalam selimut
dan membiarkanku bersujud

sore tadi pohon mahoni berbaris
di sepanjang jalan bermandikan gerimis
dan ketika itulah kita terpasah
membiarkan tubuh berbasah-basah

di lobby Garden International Hotel
kita terpuruk ke dalam irama sumbang
lalu diam-diam kau menanggalkan mantel
di luar kulihat masa bergerak mengambang

akankah besok pagi gerimis berhenti
atau daun mahoni berguguran di sepanjang jalan
bila kita menyelesaikan kecintaan negeri ini
langit tak akan menerima asap mengepul, hitam
dan teriak-teriak itu, majalah, koran dan televisi
semakin mengetatkan peluk kita
apa yang lebih sejuk?

Tuhan, kekuasaan dan cinta
mengapa sulit untuk dipisahkan?
(Medan-Padang, 2009)





Astaghfirullah!

astaghfirullah!
tanpa mimpi-mimpi
berguncanglah tempat kami berpijak
lalu dalam sekejab tangan kekar itu
mengulur dari keluasan laut dan mencengkram
bagaikan gagak menggunggung mangsa
meninggalkan luka yang menganga tak berdarah
pekik pilu pun menjadi sepi, tak bersuara, dan airmata
mencair menghanyutkan ribuan jasad manusia
kenapa Kau pilih negeri ini?

bagaikan lidah raksasa menjulur amis baunya
menjilati negeri kami lalu: Kun!
maka menjadi rata semua cinta
jadi laut bersama kekuasaanMu
tanpa sekalipun bermimpi
tiba-tiba diujudkan kenyataan ini
sesaat kemudian pun jadi bisu
lalu histeris melidahkan asmaMu

sungguh,
Engkaulah Kepercayaan Teguh
yang melenyapkan bermilyar dendam
hingga tak lapar, meski sawah jadi padang ilalang
sampai tak haus, karena keringat tlah mengikis miang
lenyaplah semua kerabat, bersusun mayat di lapangan

astaghfirullah!
selain keperihan nyata tak bertanda dalam mimpi
cobaan Kau kirimkan, melumpuhkan keangkuhan kami
di pundak ini, hinggap seribu hercules, tertatih memikul bumi

astaghfirullah!
                                                                        (Padang, 0ktober 2009)






Maling Kondang

duduk di atas angin ia semakin kondang
melesat menembus langit
nyangkut di bahu matahari
berberita ke bilik tetangga, berdecak kagum
ia tunggangi pelangi ke negeri apsari
bersahut media saling menyebut
saling debat dan beropini

kemurkaanpun mekar jadi dendam
hingga melaut  ludah dalam mulut
rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi
tak ada yang bisa menyentuhnya
mentari menjilat dan hangus terpanggang

duduk di kursi angin ia semakin kondang
menjadi maling di negerinya sendiri
katanya bukan korupi, tapi komisi

setajam apapun lidah politikus
membatu hati bak Malinkundang
debat dengan pakar  sekali gus
media berberita berulang-ulang

mengalahkan penderitaan rakyat
dari musibah yang mereka dapat

                                                (Padang, 2010)





Bulan yang Lain

bulan yang lain
kaca susu tengah malam
; tanda jasa mencibir pahlawan

tua ragu
jadi bisu

                                    (Padang, 2010)



Beginilah Jadinya

gemericik air terasa sumbang
di kamar mandi itu
tiba-tiba mengalirkan darah
ke segala arah
mengusik tidurku yang tak nyenyak

suara itu semakin riuh
mendebarkan seluruh
bagai gendrang ditabuh
tak henti menjelang subuh
bertalu-talu, menggemuruh

semakin sumbang
semakin garang

(Padang, 2010)



Ayam Beranak Itik

induk ayam heran melihat anaknya yang cacad
berpatuk pepat dan berkulit tipis di antara jejarinya

“jangan bermain di tepi kolam
kalau jatuh kalian akan tenggelam,”
induk ayam berkotek memberi nasehat
tapi si anak malah menertawakan induknya
sambil berkwekkwekkwek ia menjawab
aku bukan ayam seperti kau, ibu
lautan hanya sedalam dadaku

setelah besar itik mengembangkan sayapnya
terbang jauh menembus angkasa
hinggap di bulan dan memetik bintang
berenang menuju pulau-pulau
mengumpulkan kekayaan
memperkosa ayam, saudara ibu pengeramannya

“berkoteklah sampai berbusa mulutmu
aku akan terus menyeruput lunau
yang tak bisa kau kais dengan cekermu”
tantangnya

induk ayam tak menjawab
sambil memicingkan mata
menahan perih pantatnya yang lecet
menderita berak kapur di usia tua
                                                              (Padang, 2010)




N g i l u

dada ibunya kempes
si bayi mengisap jari
                                                (Padang, 2010)




Kepinding *)

kepinding itu
bersarang di huluhatiku
lalu mereka beranakpinak
menggerogoti hati dan jantung
bahkan ikut mengatur
denyut nadi ini

bagi kepinding
menghisap darah segar
tujuan hidupnya
meski bila tertangkap ia akan mati
ditindih gigi atau kuku

maka aku pun berubah
menjadi kepinding
segala niat di hati dihisapnya
aku jadi sunsang!
mematuk saudara sendiri
dihina dicerca
dibicarakan di mana-mana
berbuah bibir di lepau-lepau
makin disebut makin kondang

dan,
diam-diam kubangun istana
dari sumpah serapah mereka

(Padang, 2010)
*) Kepinding = Kutubusuk
                                                                                                            



Batu Dalang

dalang yang cerewet itu
tiba-tiba jadi pendiam
seperti malinkundang

seperti malinkundang?

lalu sang dalang bercerita pada batu
batu pun manggut-manggut dalam diam
sejak itu sang dalang memecat dirinya
sebagai pengisah dalam pewayangan
lalu jadi batu

'tak ada yang lebih beruntung dari batu
meski dibenci ia tetap diperlukan
sampai hari ini'

ia pun membatu!
                                                           (Padang, 2011)




Aku Nyaris Lupa, Kekasih!

Berlabuh juga percintaan kita
yang  terjalin begitu lama
limapuluh lima tahun sudah
tanpa kecupan, tanpa kerlingan
tapi keinginan memelukmu menyergap
di setiap waktu

selama darah mengalir di aorta
denyut nadi tak  pernah berhenti
melangkah juga aku, ngembara
mencariMu ke langit, ke relung bumi

Kekasih!
sujudku terbata-bata
kenapa Kau perkenalkan aksara itu
hingga aku nyaris lupa
percintaan kita.
                                                                                    (Padang, 2011)





Dendamlah Angin
                                                                                                
tiba-tiba Kau melintas begitu  saja!

gabak menggelombang menerkam awan
membawa kabar tentang kelaparan
langit menjelma gagak hitam
hujanpun jatuh menyungkup malam

siapa mengibas bencana?

semakin dendamlah  angin kepanasan
membujuk gemawan angsa berpatuk emas
menyisir siang membakar mentari
menggalang gulita tak sekunangpun

siapa berbibir kina?

meringkuklah parapapa di abu kepalan
mencatat musibah di perut piala pas
meninggalkan jejak  kemiskinan berperi
kelak dirawikan dalam kepedihan berjibun

tiba-tiba Kau melintas begitu saja!

                                                                    (Padang,  2011)





Sumpah Seperinduan

bersumpahlah untuk sebuah keyakinan
lalu pegang teguh sampai turun temurun
tumpah ruahkan darah seiliran
yang telah membeku bertahun-tahun

darah itu kini mencair dalam aortaku
mengalir dari kakek turun ke rahim bunda
lalu anak-anak bertutur sampai ke cucu
berbangsa-bangsa satukan bahasa

tapi di tanah ini,
telapak kaki meleleh kepanasan
berteriak parau dalam ketakmengertian
meringis ditindas saudara seperinduan
hanyutlah sumpah di air sepeminuman
                                                                        (Padang, 28 0ktober 2011)






Putri Raja di Sarang Penyamun*) 
sulit dipercaya; penyamun itu menyandra sang putri, setelah merampok dan membunuh raja. tinggal di sebuah gubuk dalam hutan tanpa libido, tak tersentuh, terpelihara bagaikan pualam. sang putri merasa tenang hidup bersama penyamun yang berwajah sangar, sadis dan suka menyendiri itu.
“aku suka diculik begini, dipenjara di tengah hutan, jauh dari  spekulasi, kebohongan, pengasah lidah menyembilu,” katanya.
sulit dipercaya; seorang dubalang ingin mempertaruhkan nyawa, menjemput sang putri dan membawanya ke istana tanpa pamrih, sementara tunangannya asyik di spa bersama beberapa gadis telanjang yang membangkitkan libidonya.
“ kalian akan kuberi kebun sawit seluas mata memandang, bila singgahsana   berada di tanganku,” katanya
lalu dayang-dayang itu ngompol bersama dan berebut meneguk sperma majikannya.
sulit dipercaya; penyamun dan dubalang berada di halaman istana sambil memikul keranda yang dihiasi dedaunan dan kembang hutan, di dalamnya sang putri berkonde emas berpakaian mengkilat bermanik-manik tiba-tiba berteriak memerintahkan semua petinggi kerajaan memberi hormat dan sujud pada penyamun dan dubalang.
“tak ada pesta di gedung mewah, hari ini kita merayakan kematian ayahanda si raja  laknat dengan mengundang semua petani, buruh, para kere di bawah jembatan, sopir, pedagang asongan, para abdidalem dan semua rakyat jelata,” katanya.
sulit dipercaya; kentonganpun bertalu-talu sampai ke pelosok desa menggema ke tengah sawah dan ladang menggaung sampai ke puncak gunung, lalu mereka pun berduyun datang ke istana membawa buahtangan; pisang, sayurmayur, rambutan, ketela, jagung, kentang, padi, telor, ikan bahkan ternak kambing, ayam dan bebek. Para buruh, kere membentangkan tikar dan memasang tenda, bergotongroyong. Tak satupun kado berpita emas, tak ada yang memberi bpkb kendaraan mewah, tak ada penyerahan sertifikat tanah atau rumah, tak ada cek bilyet bernilai milyaran rupiah, tak ada kapal pesiar untuk berbulan madu, tak ada tetamu borjuis atau selebritis, tak ada sepatu mengkilat, tak ada jas dan dasi.
sulit dipercaya;  kalau hari ini, banyak yang merindukannya                                                                                    
(Padang, Nov 2011)

*) diilhami dari roman “Anak Perawan di Sarang Penyamun” karya Sutan Takdir Alisyahbana




Ketika Ibu Pergi

1.
telepon  genggam ini, membantingku berkali-kali
lalu menggelepar, merayap di lantai
bagaikan bayi kelaparan, menangis
menarik susu ibunya yang kering
selluler itu  mengabarkan;
ibu telah pergi!

                                                            (Banda Aceh, pagi 8 November 2011)


2.
setua ini, beristri, beranak dan bercucu
masih saja tak sempat menghitung
berapa langkah yang telah kuayunkan
untuk mencapai pipi ibu yang keriput
lalu senyumnya membekukan airmata
mencairkan keikhlasan
melepas ibu
keharibaanNya

berzikir dan aku terus berzikir;
orang-orang lalulalang,  suara gebalau
mendorong koper, menjinjing tas
lalu announcement  dari dinding peron bandara
kekhusukanku pecah berpendar
suara ibu menghiba
penerbangan tertunda
hujan membaurkan airmata

duh!
                                                            (Polonia, selepas ashar, 8 November 2011)



3.
gabak menggumam di langit
seperti disilet, disayat-sayat
aku menangisi kealpaan
aku memendam penyesalan
terpaku di kuburan
tanahnya terasa hangat
hujan menimbunku
bertubi-tubi
bertubi-tubi!
(Padang, selepas magrib, 8 Nov 2011)





D e b u

bila terusik debu akan  mengepul dan
terbang bagai serombongan merpati
mengaburkan jendela, memerihkan mata
kita menghirupnya dalam-dalam, lalu batuk-batuk
menumpuk di huluhati, mendesak pernafasan
mendahak ke mana-mana
menebarkan virus ke mana-mana
menggerus paru-paru kita

batuk melantun ke mana-mana
terantuk ke dinding kaca menggaung ke istana
mengetuk hati penguasa
membulalang memerahkan mata
adrenalinnya mendesak: heuk  heuk  heuk!

menumpuklah debu menghitamkan hati
menggelapkan nurani

sapu-sapu pun ditimbun debu
semua berkas berdebu
merayap bersama angin, menimbun konstitusi
mengaburkan tatakrama, mendebu komisi
mengaburkan segalanya, tanpa nurani

tak ion sedebu pun bertiup
tak debu penghalang hidup

                                                                   (Padang, 2011)    
           


Mengurai Padang

Padang Panjang
tikungan tajam di mata pedang
turunan terjal licin selayang

Padang Pariaman
ke laut diayun gelombang
ke darat disepoi dagang

Padang Luar
berdiri di pintu dapur
memandang gunung para leluhur

Padang Bauk
darah membeku di rantau jauh
lidah rang minang tetap tersepuh

Padang Bulan
garuda nyasar hinggap di sini
sepantun si pungguk melepas birahi

Padang Kata-kata
beribu kata terucap di sini
berjuta makna kehilangan arti

Padang Sawah
padi ditumbuk ke Thailand
kincir menangis terabaikan

Padang Ilalang
pipit terperangkap bau padi
tikus beranakpinak ngisap umbi

Padang Genting
genting tak akan putus
putus rahim berjela-jela

Padang Serai
aneka bumbu dedaunan
masakan padang di gerai-gerai

Padang Luas
sebebas kuda berlari
kemiskinan riang menari
koruptor meluaskan diri


Padang Alai
sesayup gumam zikir
ketipak indang bersahutan

serunai mendayu
di kuburan

Padang Rumput
masih saja merumput
seperti bandot

anak-anak menyepak bola
para bandot mengutil rumput hijau
rebutan kursi bergelanggang
kursinya melayang-layang
seperti bola, ditendang, diterjang


Padang Ranggas
harimau mengurai kerisik
singa rindu diterkam monyet
padangpun meranggas
penuh kolesterol
dendam kehijauan

Padang Jelatang
di padang jelatang telah dibangun
tiga pilar penyangga negeri;
executif, legislatif, dan yudikatif

yang berurusan dengan ke tiga pilar ini
pasti akan gatal kena miangnya

lalu menular pada rakyat jelata
miskin, lapar, bodoh, dan menderita
asyik menggaruk-garuk ketiak, pantat,
bahkan jongkok menggaruk selangkangan,
perut dan mengurut dada.


Padang Pasir
berlari ke tengah padang
diguyur hujan berpasir-pasir
gunungpun berpindah
menyungkup oase

tak air keringatpun jadi

Padang Simpang
di persimpangan ini anak dagang membagi
matahari, bulan dan bintang-bintang lalu dibawa
pulang untuk tunangan tersayang
yang akan menyimpan botol pusaka usang

di tengah padang mereka berkumpul
menghitung untung dagang
menghitung nasib yang lekang


Padang Karbala
di sini adam dan hawa
menurunkan anak cucunya
bergelambir cairan ketuban
yang anyir dan najis itu
lalu menyeruak ke seluruh daratan
menyemak seluruh larangan
menggunungkan dosa
lalu berdoa
dan berdoa

subhanallah!

(Padang, 11-12)





Di Pintu Komatkamit

apapun kepercayaannya
melacurkan tubuh atau jabatan
tetap saja dipinggirkan

tapi penguasa itu, dan wanita itu
berbusa-busa mulut dan selangkangnya
berdendang dan menari menikmati
kesengsaraan negeri ini
seakan merekalah tuhan
yang menentukan siapa yang makan
atau puasa hari ini

lalu tuhan itu berguling di ranjang
kapuk kasurnya berburai dan mereka
mandi rupiah berderai-derai
sampai buah dada wanita itu jatuh
menimpa zakar pasangannya

meleleh darah dari mata mereka
dan sperma penguasa itu merangkak
menangisi rahim tak bermalu
menangisi rahim tak berpintu

lalu membusuk
terbungkuk-bungkuk
terbatuk-batuk
tak ada yang membezuk
orang-orang pun mengutuk

maka terbengkalailah
surga wanita itu
di pintu komatkamitnya

                                                (Padang, 2012)




Tekateki Purba

satu
bejana berdinding emas, tak berpintu tak berjendela
ratusan butir berlian hitam berserakan di dalamnya
istana merinding panas, siapa tahu ada kudeta
menangis selir dibungkam, gerangan apa kiranya?

batiak membusuk membungkus tubuhnya!

dua
kalau pergi menghadap pulang
ketika pulang seperti hendak pergi
perian bambu kehilangan miang
darah berdesir, apakah yang terjadi?

tenggorokan gatal sejak di tapian

tiga
ke rumah baru sangatlah ramai
setelah itu sombongnya setengah mati
membakar kemenyan berbunga rampai
menebarkan wewangian, tebaklah ini.

astano dirancang dari singgahsana


empat
di luar; anti pecah, anti basah, anti bakar, anti demo
di dalam; sembunyi di telapak kaki
adakah bayangan di kelelahan bunda
berhujan berpanas ia terus mendaki

ngeri menebak bayangan sendiri!


lima
duduk di batu sebulan lamanya
membelah badan makanya hidup

ah, lima tahun, kapan berkoteknya?

                                                (Padang,  2012)




Lagu Sesuka

sesampan sekayuh biduk
melenguh sapi dalam rendang
sebadan setubuh duduk
mengaduh kursi dalam ruang

menangis kursi dalam gedung
pantat pemiliknya penuh duri
mengais rejeki mengadu muncung
aparat seenaknya kalau korupsi

naik naik ke puncak gunung
tinggi sangat tinggi sekali
saling menghujat dalam gedung
rakyatpun muak jadi benci

                                                            (Padang, 2012).




Tali Tiga Sepilin

dua anak, bersaudara
terperangkap di sarang burung tempua
berimajinasi;
memintal tali tiga warna, lalu menjalinnya
hitam, merah dan kuning
burung tempua mematuk adrenalinnya

entah apa salahnya
hakimpun kehilangan palu
sarang burung tempua tergantung tinggi


dan;
dar der dor!
jantung ke dua anak itu
berhenti berdenyut

dan;
dur dir daur
didaur ulang serapi mungkin
tapi tetap saja tidak mungkin

                                                            (Padang, 2012)




Di Negeri Pelacur yang Pekak

setelah melacurkan kebijakan
mereka menikmatinya dengan
membungkus sistem begitu rapi
seperti mengarungkan kucing
lalu menerima komisi
dari gedung-gedung kedap suara
penentu nasib anak negeri

lalu mereka berteriak;
pelacuran harus dibasmi!

ya, ya. kita menyukainya diam-diam
bila terbuka dianggap tabu, tak bermalu
bukankah kita bangsa yang beradab?
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
maka berpandai-pandailah
bak tikus mengerek mangsa
membeli kekuasaan
lalu menista rakyat sendiri

di negeri para pelacur
darah dan nanah menjadi halal
intelektualitas haruslah terukur
mengasah lidah melebihi sembilu
yang jalan sendiri akan tersungkur
diranjau sepanjang jalan
pemegang kebijakan semakin makmur
menyelusup mulus di antara kepentingan
lalu meludahi konstituen sendiri

sementara
wanita malam yang tak pernah tidur
dibanting dan ditindih
sejumlah uang dihamburkan ke kasur
siangnya mereka dinista sampai hancur

di negeri yang laknat
para pelacur menghancurkan pelacur
para wanita penghibur dijadikan umpan
lalu bau alkohol dan asap rokok
menyungkup mereka dibuai narkotika
memungut mimpi, menciptakan surga
rakyat menderita di tikar neraka

di negeri para badak yang pekak
tak mempan sindiran pantun atau sajak
wanita malam, berhentilah melapak
biarkan mereka saling teriak-teriak
lalu anak negeri kan bergolak
amarah rakyat menggelegak

Tuhan,
musnahkanlah negeri para pelacur
penghisap darah dan nanah!
tenggelamkan ke dalam
apsariMu
(Padang, 2012)




Zikir Kalbu
digores kuku
perihku malu-malu
geli dan ngilu

kuraih awan
membisu perawan
menjeritkan kenangan

menjauh tuhan
dari  zikir tertahan
akupun terban
(Padang, 2012)




Aroma Malam

tanpa wanita itu, malam ini seperti jamban
bau tak sedap samasekali
bagaikan pianggang mengerumuni cahaya
lalu menebarkan penyakit
berbunga-bunga di lembaran duit


tetap saja tak wajar
sekadar menghamburkan
hasil kongkalingkong
uang haram pembeli yang haram
mengiris-iris hati
lalu asap rokokpun mengepul
bau alkohol menebar sampai
ke selangkangan mereka

rahim siapa yang berteriak
histeris !
tak sudi disinggahi berkali-kali
kumbangkah atau kupu-kupukah
yang menyelam sambil menghisap sari?

seperti juga kita
terkadang lupa memisahkan
halal dan haram
bau keringat dingin
kumbang dan kupu-kupu
membungkus sayapnya
di balik jeritan
ketaksukaan
                                                            (Padang, 2012)




Tersebab Benalu

membusuk kayu cendawan mekar
berpayung api mengepulkan asap
menggabak langit menipu mentari
panas menggigit kekuasaan
terik!
tarik menarik

kayu melapuk apipun makin garang
habis semuanya

maka tumbuhlah benalu
di antara kita
saling memangsa
                                                                                     (Padang, 2012)




Haiku: Galau

jaring terurai
dipeluknya bayangan
mengharap gabah

**
suara badai
gelisahkan nelayan
tak pernah kalah

***
jatah si miskin
obat-obat generik
macam kerikil

****
anak perawan
bergaya di jalanan
cari pembalut
                                             (Padang, 2012)




Komisi di Secangkir Kopi

mobil esemka kebanyakan emisi
pakar bertengkar, emosi
kerangka mobil membenam
motivasi pun dikebiri

mencari komisi di secangkir kopi
ditenggelamkannya nalar
 menjerat upeti

mencari kerja
sogok menyogok
payah membanting tulang
(Padang, 010312)





Hamil Tikus
hamil? kata sabay terlonjak dan memeluk istrinya
akhirnya istriku hamil, dia tidak mandul, lanjutnya
dan ia kabarkan pada setiap orang

diam-diam sperma tikus nyangkut
di rahim istrinya. perutnya membusung
bagaikan zeplin tersandar
di dinding ngarai

suatu pagi, tiba-tiba perut itu kempes
“kau taruh di mana bayi kita, sayang?”
dengan senyum, sang istri menunjuk lemari
"kembar 45, mencericit seperti tikus," jelasnya

dan berloncatanlah tikus-tikus itu ke pangkuannya;
papa, papa gendong aku ya
aku makan mata papa
aku suka hidung papa
telinga papa gurih
bibir dan lidah papa tak bertulang

sabay terkapar di depan lemari
yang menyimpan rahasia hidupnya
"jangan habisin papa, nak”
 amat lirih suaranya
                                                            (Padang, 2012)






Mata Siapa dalam Bayangan?

ada bayangan melesat begitu saja
aku terlambung dalam bola
dan menggelinding ke sudut waktu;
ah! sudahkah masa
pensiun menyapa?

lalu melantun-lantunlah gelisah ini
menanti lelah dalam kurun
ada mata dalam bayangan
seperti mengerdip di percikan air
membasuh gurat memberat di wajahku
tengadah ke langit seperti mencari
bayangan siapa dalam mata yang memerah ini
 (Padang, 2012)




Aku Bukan Merampok
angin itu, ya, ya menyelusup masuk ke dalam tubuh ini, diam-diam keluar lagi lewat dubur setelah mengilhami semua ampas di perut yang semakin membuncit ini dengan aroma yang mengasyikkan. biarkan orang-orang memencet hidungnya, sementara aku semakin asyik menikmati angin, yang menyemangati keinginanku
menutup hidung di tengah gebalaunya angin yang berkesiur sangat menguntungkan karena aku akan memompakannya ke ladang imaji yang diam-diam menjadi kenyataan dengan kekayaan melimpah. aku bukan merampok dari tangan-tangan yang makin lunglai, menderita dan sesak nafasnya akibat tak tahan menghirup udara di sekitarnya

"tuhan, berkahi aku kentut yang lebih busuk lagi, agar orang-orang tak suka dan hambaMu akan merdeka di negeri yang menjijikkan ini"
(Aceh, 2012)



Takut Taktik

tak sekam memendam jua, tak api berasap jua, tak kayu membara jua, tak ragu gelisah jua tak panas membakar jua, tak lidah memfitnah jua, tak suara memekik jua, tak datang hadir jua, tak peluk dirangkul jua, tak lari dikejar jua, tak diam gelisah jua, tak libat disangkal jua  tak lepas ditangkap jua, tak lihat nampak jua, tak korup dicurigai jua, tak maling dijatahi jua, tak jabat disalami jua, tak ikut disertai jua, tak debat meradang  jua, tak demo membangga jua, tak kutak katik jua, tak mandi basah jua, tak dengar tahu jua, tak pikir pintar jua, tak ngerti politik jua, tak obat generik jua.

takut taktik mengutakatik
penyakit politik                                                                                                                                                 penuh intrik !
                                                             (Padang, 28 Maret 2012)





Demi Setetes Embun

tak henti-hentinya mentari
memancarkan terik dan panas
menyeruak sampai malam
adrenalin pun sulit dikendalikan
sampai parau memekikkan ketaksukaan
kursi itu bergoyang tak juga tumbang

cuaca tak menentu merubah atmosfir
sekehendaknya; di sesubuh ini, berkeringat juga
tanpa basa-basi diterkamnya embun
yang asyik mencium ujung daun

meski nyamuk telah tertidur
di balik gordein dan tumpukan berkas
demonstran itu tetap saja mengasah lidah

demi setetes embun
demi selembar daun
                                                (Padang, 2012)




Menyepak Siang

orang-orang menyepak siang
bulan sumbing tersenyum
matahari malu merah pipinya

gemintang mengerdip
menunggu zaman
meraihnya
menanti bahu
tak berdosa
                                                                                                  (Aceh, 2012)



Berkemaslah!

di denyut nadi kuusai sajadah
sampai remuk redam
seakan terban ruh dari zikir yang khusu’
aku melayang jauh menembus langit
menguak rahasiaMu
lalu mengigau dan menggelepar
sendiri!

angin dan cahaya saling ingkar janji
merenggangkan atmosfir
hingga berpendar suara adzan
mentari di ubun
menancapkan panasnya
keluasan membiru mengiangi telinga ini

darah nyamuk yang membeku di sajadah
kudengar suaranya;
segera, berkemaslah!

subhanallah!
 (Padang, 2012)





SYARIFUDDIN ARIFIN; Lahir di Jakarta, 1 Juni 1956. Berpendidikan: ST-KIP,  Sumbar, jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia. Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan Basis.Tulisanya dimuat di beberapa media cetak (majalah dan koran)  Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Telah melakukan perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.
Buku Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, dan Maling Kondang (2012) terbitan Tersa Budaya Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh  Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala.
Kumpulan Cerpen al, Bermula dari Debu, (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar.
Novel/cerbung al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang.
Memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara, 1984.  Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004.
Beberapakali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002)
Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.-
------------------


Endorsmen Kulit belakang:
Syarifuddin Arifin sudah memublikasikan sajak-sajaknya sejak tahun 1980-an, kemudian lama saya tidak mengikuti perkembangannya. Tapi setelah membaca sajak-sajaknya dalam kumpulan Maling Kondang ini, saya kaget. Tak terduga, loncatan imajinya luar biasa. Tidak sebagaimana biasanya penyair membukukan sajak-sajaknya dengan nafas yang sama, melainkan ia kemas dalam sebuah campursari. Ada pantun, haiku, sajak naratif, dan bahkan ada bau-bau mantra. Kumpulan sajak Maling Kondang ini seperti membentangkan bianglala. Secara keseluruhan, Syarifuddin Arifin ingin meloncat jauh ke depan tanpa meninggalkan akar tradisi sastra Minangkabau, komunitas budayanya.
(Heru Emka , penyair, penyunting, pengamat eseis berbagai genre kesenian. Tinggal di Semarang, meninggal 2 Mei 2012 saat buku ini dalam proses cetak)
*

Membaca Kumpulan Puisi Maling Kondang karya Syarifuddin Arifin langsung mengingatkan saya pada dua sisi mata pisau, kritik sosial sebagaimana tercermin pada judul buku puisi ini, dan ‘refleksi diri sendiri’. Yang pertama amat dibenci dan ditakuti oleh  para penguasa otoriter, sejak dari Josefh Stalin sampai Soeharto, dan yang ke dua menyirami ‘gula’ katarsis ke lubuk jiwa para pembacanya. Puisi-puisi Syarifuddin Arifin dalam Maling Kondang ini mengandung ke duanya yang diramaikan oleh simbol-simbol tradisi dan modernitas, dan diletakkan secara proporsional dalam konteks dan gerakan alam yang berbeda hakikatnya tapi hamper sama dampak social psikologisnya. Gonjang ganjing politik negeri ini yang sudah bergelimang korupsi dan goyangan alas bumi Sumateranya yang tak pernah henti dihoyak gempa.
(Suryadi, dosen dan peneliti Indonesian Studies, Leiden University Institute for area studies (LIAS Leiden, Belanda)

.







10/06/2012

 seperti dakocan berwarna merah dan kuning

tiba-tiba dimatikan lawan sambil senyum

dengan mengakhiri permainan kartu menjelang subuh, 

hemaglobin merapung dan adrenalinku melemahkan denyut jantung ini. 

Sementara di sana, puluhan poster dan spanduk memanaskan api, 

mencairkan dahak atas perselingkuhan hukum yang saling orgasme, 

entah siapa yg melakukan penetrasi,

karena mereka mengaku paling gagah dan jago 

meski ke duanya layu dan perlu ditegakkan kembali.

Aku masih ingin menyusun kartu-kartu itu, 

meski tanpa yoker yang seenaknya keluar masuk ke segala sektor kehidupan ini, 

untuk memastikan siapa maling yang paling kondang di antara kawan sepermainan ini.


(Padang, 6 Oktober 2012)

No comments:

Post a Comment