Maling Kondang
Kumpulan Puisi
Syarifuddin Arifin
Disain Sampul
Yusrizal KW
Tataletak
Tim Visigraf
Foto
Herisman Is
Penerbitan
ke 19 Teras Budaya Jakarta
Alamat
Jalan Raya Lenteng Agung Timur gang. Zakaria no. 80
Jakarta Selatan. Telp/fax: 02132221011
E-mail:remmynovaris@gmail.com
ISBN
978-602-98705-2-7
Cetakan
Pertama Mei 2012
Copyright
dilindungi oleh Undang-undang No. 19 tahun 2002
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rachmatNya jualah, akhirnya
Kumpulan Puisi Syarifuddin Arifin ini bisa terbit. Sebenarnya sudah cukup lama
juga kita mengenal penyair ini, dan puisi-puisinya dalam Kumpulan Puisi NGARAI,
1980 diterbitkan Kolase Kliq Jakarta, dengan pengantar/endorsmen oleh Dami N.
Toda, mendapat perhatian beberapa pengamat seperti Korry Layun Rampan, Wahyu
Wibowo, Adek Alwi, Hendri Ch. Bangun dll. Tulisannya sering kita jumpai di
media cetak (majalah dan suratkabar) terbitan Padang dan Jakarta. Tak lama
setelah itu, ia pindah ke Padang bersamaan dengan menurunnya produktifitasnya,
hanya sesekali memperlihatkan ‘bayangan’ lalu hilang lagi.
Ternyata
penyair satu ini lebih suka memublikasikan karya tulisnya di daerah, meski
sesekali ia tampak hadir di pentas teater dan sastra di berbagai kota. Setahun
lalu, melalui telepon, kami menawarkan agar sajak-sajaknya bisa diterbitkan
Teras Budaya Jakarta, bersama penyair asal Jawa, Hardho Sayoko Spb. Ke dua
penyair dengan latarbelakang budaya yang berbeda ini, sudah saling mengenal,
sesama aktif di Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Sebagai penerbit buku-buku
sastra, kami melihat ke dua penyair ini layak disandingkan mewakili Sumatra dan
Jawa, selain tentu keduanya seangkatan. Tapi, gagal dan kami hanya menerbitkan
buku puisi tunggal Hardho Sayoko Spb, Penyair Negeri Rembulan (2011), yang
telah diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin – TIM Jakarta.
Tidak
adil rasanya, bila sejumlah sajak-sajak Syarifuddin Arifin (belakangan terlihat
cukup produktif) hanya karena teknis dan lain hal, lantas kami dari pihak Teras
Budaya Jakarta, mengabaikannya begitu saja. Namun karena keterbatasan kami di
sana-sini, dan semakin menumpuknya order penerbitan dari kawan-kawan berbagai
daerah, akhirnya – dengan segala upaya- kumpulan sajak MALING KONDANG Syarifuddin Arifin ini muncul sebagai
hasil produksi/penerbitan ke 19 Teras Budaya Jakarta.
Terimakasih.
Penerbit Teras Budaya Jakarta
vi
Membaca
Syarifuddin Arifin:
Layar yang Terus Terkembang
Oleh:
Dr. Wahyu Wibowo
Apa yang “enak” dari sajak-sajak Syarifuddin Arifin?
Sebutan ”Maling Kondang” saja, alih-alih ”Malinkundang”, agaknya cukup
membuktikan bahwa penyair ini telah tiba
di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang menjadi hidupnya selama ini.
If – panggilan ”sayang” saya kepada Syarifuddin
Arifin – adalah penyair yang numpang lahir di Jakarta ini, asli berdarah Minang
dan ”kebetulan” tinggal di Padang, Sumbar. Kebetulan yang saya maksudkan
berkelindan dengan tata permainan bahasa sajak-sajaknya yang memang kental
dengan aroma seni dan sastra Minang, yang semua orang tahu mengandung nilai-nilai
aksiologi yang bukan main tingginya sehubungan dengan kekuatan tradisi
budayanya. Bagi saya, If pun bukan penyair baru, karena kami pernah
berinteraksi amat intens sejak 1980-an dalam sebuah wadah pencurahan kreasi
penyair muda Jakarta bernama Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Di BSI itulah
berkumpul sejumlah nama penyair (yang ketika itu masih muda), yang ”entah
mengapa” terus saja menulis puisi walau kemudian memiliki profesi yang
berbeda-beda, seperti Kurniawan Junaedhie, Adek Alwi, Hendry Ch. Bangun, Pipiet
Senja, Salimi Ahmad, Remmy Novaris, Azwina Aziz Miraza (almarhumah), Lazuardi
Adi Sage (alm), Rismuji Rahardjo, Rahardi Zakaria dan sejumlah nama lain.
Sebagai penyair, ketika itu If sudah memperlihatkan akar estetika
kepenyairannya, yang selaras dengan ”semangat keperantauannya”, yakni Minang.
Saya ingat betul hal ini, dan mungkin amat paham, karena saya pernah membahas
kumpulan puisinya, Ngarai (1980), di BSI. Saya tegaskan ketika itu bahwa If
gemar melakukan kolokialisme (penyandingan kata) secara tidak umum, namun
kemudian malah menjadikan sajaknya khas, misalnya ia menyebut ”seketat peluk”
(umumnya, misalnya, ”sehangat peluk”).
Kolokialisme If ternyata juga tetap mewarnai Maling
Kondang yang sedang Anda pegang ini. Dan, ini, sah saja mengingat If ”berasal”
dari budaya Minang, yang memang sarat dengan kolokialisme pantunnya. Sebagai
penyair yang saya sebutkan telah tiba di dunia estetika kepenyairannya,
kolokialisme If itu dapat kita nikmati melalui sajak-sajaknya, seperti ”Padang
Panjang”, ”Padang Pariaman”, ”Padang Luar”, ”Padang Bauk”, atau ”Padang Bulan”.
Akan tetapi, kolokialisme If itu tidak dapat lagi dikembalikan kepada bentuk
umumnya, atau tidak mungkin lagi diperdebatkan melalui perspektif sastra yang
strukturalistik. Pasalnya, sebagai cerminan estetika kepenyairannya, sadar atau
tidak ia telah melampaui pagar-pagar strukturalistik itu sendiri, sehingga
makna-makna sajaknya yang datang kepada kita harus dipahami secara
fenomenologis. Ungkapan-ungkapan fenomenologisnya, seperti ”tikungan tajam di
mata pedang” (umumnya, misalnya, ”tikungan jalan”), ”darah membeku di rantau
jauh” (umumnya, misalnya, ”darah membeku di pembuluhnya”), ”padi ditumbuk ke
Thailand” (umumnya, misalnya, ”padi ditumbuk di lumpangnya”), atau ”kenikmatan
duri” (umumnya, misalnya, ”kenikmatan makanan lezat”), membuktikan penyair ini
teguh dalam gayanya, sehingga estetika kepenyairannya pun dapat terlihat dengan
jelas. Bacalah beberapa sub judul dari Sajak-sajak Mengurai Padang di bawah
ini.
Padang
Panjang
tikungan
tajam di mata pedang
turunan
terjal licin selayang
Padang
Pariaman
ke
laut diayun gelombang
ke
darat disepoi dagang
Padang
Luar
berdiri
di pintu dapur
memandang
gunung para leluhur
Padang
Bauk
darah
membeku di rantau jauh
lidah
rang minang tetap tersepuh
Padang
Bulan
garuda
nyasar hinggap di sini
sepantun
si pungguk melepas birahi
Padang
Sawah
padi
ditumbuk ke thailand
kincir
menangis terabaikan
Di dalam ”Maling
Kondang”, sajak yang lantas dijadikan nama kumpulan puisinya ini, If memotret
korupsi melalui kolokialisme ”ia tunggangi pelangi ke negeri apsari” (umumnya,
misalnya, ”ia tunggangi kuda itu”). Si ’ia’ lirik di dalam sajak itu oleh
penyairnya difenomenologiskan sebagai upaya pembasmian korupsi di negeri ini
yang ternyata sekadar wacana belaka. Itu sebabnya, If menegaskan bahwa korupsi
pada dasarnya;
mengalahkan
penderitaan rakyat
dari
musibah yang mereka dapat
Penegasan ini memang berkesan nyinyir, cerewet, dan
naif, namun kalau kita perhatikan pelesetan tautologisnya dari Malinkundang
menjadi Maling Kondang, kita akan segera sadar bahwa If hendak mengajak kita
berpikir secara fenomenologis bahwa maling pun bisa kondang, sejajar dengan
kekondangan anggota DPR, presiden, gubernur, bupati/ walikota, atau artis.
Ajakan If ini setidaknya mengingatkan saya pada pendapat Wittgenstein bahwa
pada dasarnya suatu ungkapan bahasa adalah cerminan dari kecerdasan manusia
dalam memengaruhi manusia-manusia lain. Inilah yang ”enak” dari If, sebagaimana
saya tanyakan pada awal tulisan, karena If berupaya keras (bukti dari
intelektualitas kepenyairannya) memengaruhi kita dengan memelesetkan
Malinkundang menjadi Maling Kondang. If, sebagaimana telah saya singgung pula,
memang telah tiba di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang soul mate-nya
selama ini.
Anda tentu penasaran hendak segera membaca
sajak-sajak If. Bacalah. Akan tetapi, membaca Maling Kondang, hemat saya,
janganlah seperti Goenawan Mohammad yang mengaku dirinya seperti si
Malinkundang di dalam kepenyairannya. Membaca sajak-sajak If ibarat menumpang
kapal laut yang selalu berlayar, karena If adalah layar pada kapal laut itu
sendiri yang terus-menerus terkembang.
Jakarta, 25
April 2012
Dr.
Wahyu Wibowo adalah dekan pada Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas
Nasional, Jakarta.
x
Identitas
Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang
karya
Syarifuddin Arifin
Oleh,
Cunong Nunuk Suraja
Pengajar
Intercultutal Communication di FKIP – Universitas Ibn Khaldun Bogor
Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut
Kosmopolitan mencatat bahwa heterogenitas bukanlah satu-satunya penyebab yang
membedakan kebudayaan urban yang mudah disiasati karena masyarakatya yang
homogen. ... dalam homogenitasnya pun setiap anggota masyarakat tidak mungkin
menjadi individu yang sama dan sebangun dengan yang lain, sehingga berbagai
bentuk klasifikasi, perbedaan masih mungkin dilakukan. Sebaliknya, justru dalam
kebudayaan urban, iklim industri memberlangsungkan homogenisasi. Hal ini juga
sejalan dengan tesis Chris Barker (2003) yang dikutip Ignatius Haryanto dalam “Menimbang Kembali
Imperialisme Kultural dalam Konteks Globalisasi Kebudayaan Awal Abad Ke – 21”
di buku Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan suntingan
Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto bahwa imperialisme kultural ini
berasal dari tesis tentang homogenisasi budaya yang dalam proses globalisasi
dari kapitalisme konsumtif menghasilkan hilangnya keragaman dalam budaya. ...
imperialisme kultural adalah hasil dari kesatuan proses ekonomi dan budaya yang
merupakan bagian dari kapitalisme global.
Globalisasi telah menghilangkan indentitas karena
homogenisasi yang dimaui kapitalisme global yang merembet pada perubahan budaya
yang oleh Seno Gumira Ajidarma (2008) ditandai dengan komunitas-isme yang
menggeser sukuisme sehingga seorang lelaki Minang bisa merasa kurang sreg
mendengar “khotbah” tentang berbagai adat suku dari para ninik-mamak yang
datang dari kampung. Hal ini tampak dari sebagian besar sajak yang terkumpul
dalam Maling Kondang yang tentunya akan merujuk pada kearifan budaya lokal
Minang, tercermin dalam legenda Malinkundang
yang berhasil dalam merantau dan pulang menolak kehadiran ibu
kandungnya. Lalu karena murka si ibu kemudian mengutuknya jadi batu yang tersisa pada bait: setajam apapun lidah
politikus / membatu hati bak Malinkundang. Perhatikan usaha penyair mencairkan
indentitasnya menuju ke budaya global dengan parodi puisi berikut:
MALING
KONDANG
duduk
di atas angin bermandikan gemawan
melesat
menembus langit
nyangkut
di bahu matahari
berberita
ke bilik tetangga, berdecak kagum
ia
tunggangi pelangi ke negeri apsari
bersahut
media saling menyebut
saling
debat dan beropini
kemurkaanpun
mekar jadi dendam
hingga
melaut ludah dalam mulut
rupiah
ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi
tak
ada yang bias menyentuhnya
mentari
‘kan menjilat dan memanggang
duduk
di kursi angin ia semakin kondang
menjadi
maling di negerinya sendiri
katanya
bukan korupsi, tapi komisi
setajam
apapun lidah politikus
membatu
hati bak Malinkundang
debatdengan
pakar sekaligus
media
berberita berulang-ulang
mengalahkan
penderitaan rakyat
dari
musibah yang mereka dapat
(Padang,
2010)
Penyair mencoba memotret dengan kosa kata yang
dicomot keindonesiaannya seperti maling, kondang dan nyangkut. Kosa kata yang
muncul karena rembesan budaya lokal pada perkembangan bahasa nasional. Sajak
yang lain yang mencoba mengunggah budaya
lokal mengglobal adalah sajak Putri Raja di Sarang Penyamun *) (Halaman: 49)
Sajak yang sudah diduga merupakan sikap parodi
satire ini memang cukup manjur untuk mengolah kegalauan atas keadaan negeri
yang sudah dipotret dalam sajak Maling Kondang. Pembalikan logika cerita yang
sudah tersiar sebelumnya menjadikan sajak ini seperti sengaja menghilangkan
indentitas budaya lokal yang tentunya akan lebih kental dengan pepatah petitih
yang sementara ini dianggap nenek cerewet seperti yang disampaikan Seno Gumira
Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan. penyair memang cukup jeli dalam
mengglobalkan kearifan budaya dengan sudut pandang yang diperbarui dan dengan
sisipan kosa kata yang mengindonesia maupun menginternasional seperti libido,
sadis, spa, sperma, sertifikat, cek, bilyet, borjuis, selebritis, ngompol,
kere, asongan, abdidalem, dan kentongan,
Ada sajak penyair ini yang mengolah kearifan lokal
yang sangat jitu yakni Ayam Beranak Itik.(halaman: ….). Jika ditilik,
sesungguhnya hampir semua sajak-sajak SyarifuddinArifin dalam Kumpulan Puisi MALING KONDANG ini bernada getir dan satire, terutama selalu
mengaitkan dengan pola kehidupan politik- budaya Indoneia saat ini. Maka tak
pelak kalau anak itik yang dibesarkan ayam pun mampu meleter:
“berkoteklah
sampai berbusa mulutmu,
aku
akan terus menyeruput lunau
yang
tak bisa kau kais dengan cekermu”
(Sajak; Ayam Beranak Itik, hal. 42)
Syarifuddin
Arifin juga tak lupa mencoba mengglobal dengan gaya puisi haiku Jepang yang
terkenal, walau tak juga melupakan warisan tradisinya pantun dan gurindam
(simak Haiku: Galau (hal….) dan Mengurai Padang (hal…) seperti paparan Nirwan Dewanto dalam temu
sastra di Bogor pada acara memperingati kedikdayaan Chairil Anwar yang sajak-sajaknya
ditilik lebih membumi, walau dalam kadar tradisi lanjutan: Saya telah
menekankan Chairil Anwar sebagai penerus tradisi persajakan sebelumnya…... Di
titik ini saya hedak menekankan bahwa sajak bebas pun sebuah konvensi,
khususnya konvensi dalam khazanah puisi moderen se dunia, dan dengan ini
Chairil Anwar menyatukan dengan sastra dunia se zamannya. Dengan kata lain,
sajak bebas pun adalah hasil disiplin yang tersendiri. Pun dalam khazanah kita,
Chairil Anwar bukan orang pertama yang mengerjakan sajak bebas; sejumlah
penyair Pujangga Baru seperti Roestam Effendi. J. E. Tatengkeng dan Amir Hamzah
pun sudah melakukannya.
Daftar Pustaka:
Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar
Putranto. tanpa tahun. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar
Kebudayaan.Depok: Penerbit Koekoesan
Nirwan Dewanto. makalah di Forum Sastra
Bogor, 28 April 2012, Situasi Chairil Anwar. belum dipublikasikan.
Seno Gumira Ajidarma. 2008.Kentut
Kosmopolitan. Depok: Penerbit Koekoesan
xiv
Terimakasih
Tanpa
bantuan dalam bentuk ide/pemikiran, dukungan moral, tenaga, dana, perkoncoan
maka Kumpulan Puisi: MALING KONDANG ini tidak akan pernah terbit. Untuk itu,
dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terimakasih kepada:
Padang:
Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Hasanuddin WS, Nasrul Azwar, Sastri
Yunizarti Bakry, Yusrizal KW, Hermawan, Mahatma Muhammad, Muhammad Ibrahim
Ilyas, Halvika Padma. Jakarta: Sjafrial Arifin, Sastri Sunarti Sweeney, Wahyu
Wibowo, Adek Alwi, Remmy Novaris DM. Semarang: Heru Emka (alm).Wonosobo: Ika
Setyana Wirawati. Bogor: Cunong Nunuk Suraja. Aceh: LK. Ara, Hermansyah Adnan,
Said Mahiddin Muhammad. Prawang Riau: Maman Yuherman. Pekanbaru: Herisman Is.
Batam: Yus Marni. Malaysia: Dato’ SN. Ahmad Khamal Abdullah-Kemala (Kuala
Lumpur). Belanda: Suryadi Sunuri (Leiden). Hongkong: Dianing Rizkie.Utami
Teater Nan Tumpah Padang, Taman Budaya Sumbar, Teras
Budaya Jakarta,
Kelompok Studi Sastra Bianglala, Dapur Sastra
Jakarta,
Nusantara Melayu Raya (NUMERA)
Malaysia
(syarifuddin
arifin)
xv
DAFTAR ISI
Pengantar……………………………………………………………………..…………… v Membaca Syarifuddin
Arifin; Layar yang Terus Berkembang oleh
Dr. Wahyu Wibowo……………………………………………………………….………. ix
Identitas
Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang
karya
Syarifuddin Arifin oleh Cunong Nunuk Suraja………………………..……….….. ….. xi Ucapan
Terimakasih………………………………………………………….…………. xv DAFTAR ISI
………………………………………….……………… ………… xvii
Lembah Anai ………………………………….……………………………………… 1 Biduk Berlalu
…………………………………………………………………………
2 Bayi pun
Menipu Tajin……………………………………..………………………….
3 Perkawinan
Renta…………………………………………………….………………..
4 Kenikmatan
Duri…………………………………………………….………………… 5 Mencangkul
Api……………………………………………………………… ..…… 6
Setangkai
Amsal…………………………………………………………………… 7 Bom
…………………………………………………………….…………………… 8
Bus…………………………………………………………………………….…..… 10 Lapangan Segi Tiga…………………………….……………….…………………… 11 Bukan Padi
Buahnya ………………………………………………………………... 12 Kerinduan yang
Pecah……………………………………………………………… 13 Ah, Itu
Bukan Bunga …………………………………..………………………….. . 14
Terjebak ke Dalam Kancah…………………………………………………………. 16
Lalu Kita Menari …………………………………………………………………… 17 Petaka
Pataka……………………………………………………..………………... 18 Bedil
Serumpun Bambu……………………………………………………………. 19 Murka yang
Mendesak…………………………………………………………….. 20 Rindu
yang Terbang ……………………………………………………………….. 21 Gelombang
Dalam………………………………………………………………….. 22 Peratap Mayat
……………………………………………………………. ……….. 24 Rindu
Benalu……………………………………………………………………….. 25 Kontradiksi…………………………………………………………………………. 26 Bengkalai Utopia
…………………………………………………………………... 27 Gonjong Patah
Dua………………………………………………….. ……………. 28
Terrtikam Bayangan ………………………………………………………………. 29 Sepantun Daun
Ubi………………………………………………………………… 31 Rindu yang
Terbelah ………………………………………………………………. 32 Cinta
Kartika ………………………………………………………………………. 33
Dan, Malam di Kamar Kembali Sepi……………………………………................. 34 Menggenggam
Jejak………………………………………………………………... 35 Ketika
Bumi Menggeliat……………………………………………………………… 36 Apa
yang Lebih Sejuk………………………………………………………………... 37
Astaghfirullah………………………………………………………………………… 38
Maling Kondang……………………………………………………………. ……….. 39
Bulan yang Lain ……………………………………………………………………… 40
Beginilah Jadinya……………………………………………………………………... 41
Ayam Beranak Itik …….…………………………………………………………….. 42
Ngilu ………………………………………………………………………………….
43
Kepinding *)…………………….
..…………………………………………………. 44 Batu
Dalang ……………………………………………………………………………
45
Aku Nyaris Lupa, Kekasih! …………………………………………………………… 46 Dendamlah Angin
…………………………………………………………………….. 47
Sumpah Seperinduan …………………………………………………………………. 48 Putri
Raja di Sarang Penyamun *)…………………………………………………….. 49
Ketika Ibu Pergi …………………………………………………………….. ……….. 51
D e b u ……………………………………………………………….. ………………. 53
Mengurai Padang……………………………………………………………………… 54
Di Pintu Komatkamit …………………………………………………………………. 59 Tekateki Purba ……………………………………………………………………….. 61
Lagu Sesuka …………………………………………………………………..
63
Tali Tiga Sepilin ……………………………………………………………… 64
Di Negeri Pelacur yang Pekak ……………………………………………………….. 65
Zikir Kalbu……………………………………………………………………………. 67
Aroma Malam ………………………………………………………………………… 68
Tersebab Benalu ………………………………………………………………………. 69 Haiku:
Galau ………………………………………………………………………….. 70
Komisi di Secangkir Kopi……………………………………………………………... 71 Hamil Tikus
…………………………………………………………………………… 72
Mata Siapa dalam Bayangan?......................................................................................... 73
Aku
Bukan Merampok ……………………………………………………………….. 74
Takut Taktik …………………………………………………………………………… 75 Demi Setetes Embun
…………………………………………………………………… 76
Menyepak Siang ……………………………………………………………………….. 77
Berkemaslah!................................................................................................................... 78
Syarifuddin Arifin (Curiculum Vitae)……………………..…………………………… 79
xix
Lembah
Anai
rel
kereta api meringkuk dingin
sejumlah
kera menggaruk perutnya
kudengar
pekikmu sambil meronta
dan
jembatan besi yang diam termangu
mencatat
kemesraan yang tertunda;
bibirmu mengatup ketakutan!
air
terjun memercikkan embun
melumutkan
bebatuan
meriak
kenangan masa kecilku
lembah
yang hijau dan terowongan
menembus
bukit batucadas
aku
menyimpan kengerian;
memeluk buntalan di pangkuan!
inilah
lembah pertama yang kukenal
lembah
anai yang rimbun meniupkan embun
membawaku
terbang ke masa lalu
keperawanan
hutan dirampas begitu saja
kera-kera
itu berloncatan
dari
satu pohon ke pohan lainnya
berayun
lalu mencibirku
menadahkan
tangan mungilnya;
di hulu air mengeruh sampai ke hilir!
(Lembahanai,
2001)
Biduk Berlalu
tak
ada yang berkayuh hari ini
tapi
biduk itu meluncur jua
menikam
jejak yang tertinggal
berlalu
begitu saja
menyeret
danau kenangan
menyeret
nasib petani ikan
muara
yang diam
menyuburkan
encenggondok
menimbun
permukaan air
biduk
membelah
lalu
bertaut lagi
menghilangkan
riaknya
menghilangkan
gambarnya
tak
sedayung mendusta waktu
memburam
gambar diamkan riak
nasib
berkuyup masa lalu
biduk
lewat kiambang beranjak
biduk
pincalang mengumandang
irama
sumbang di mana-mana
mendendangkan
menidurkan
lalu
terbenam ke dalam mimpi
terngiang-ngiang
di tengah padang
keramba
menyisakan ikan lekang
(Maninjau,
2001)
Bayi pun Menipu Tajin
apa
yang kita inginkan dari sebuah pesta?
haus
dan lapar telah ia sempurnakan
orang-orang
berjingkrak, lalu tertidur pulas
dan
bermimpi tentang demokrasi versi negeri ini
berapa
banyak mereka yang kita laparkan
lalu
menipu bayi dengan kempeng atau dot
dan
bayi-bayipun menipu kita dengan tajin
busung
lapar, rawan gizi membawa keranda
lalu
diarak ke sebuah upacara
mematikan
potensi yang bernas
dan
membuangnya ke laut lepas
ada
senyum yang tak kita inginkan
mayat
terapung-apung dibelai gelombang
dan
terdengar pernyataan;
“semuanya tersalurkan!”
angin
laut membawa kabar
sambil
menyelam mencari keajaiban
dan
tertidur selama-lamanya
selama-lamanya
(Padang,
2001)
Perkawinan Renta
ketika
renta kawin lagi
cincin
belah rotannya
retak
ditimpa airmata
(Padang, 2002)
Kenikmatan Duri
aku
tahu kalau hidup perlu kemudi
tapi
pendayungku cuma satu
kau
pun tahu kemudiku penuh duri
tapi
duri itulah kenikmatan semu
kita
tahu pelayaran hidup ini
menuju
ke sebuah titik
tapi
mengapa titik menjadi pasir di pantai?
kita
memerlukan kemudi
hanya
satu, tanpa duri, tanpa pasir
tapi
ombak mengasahnya sepanjang hari
membiarkan
cinta digores birahi
kenapa
kau berteriak menahan perih
sambil
mengelus-elus borok sendiri?
(Padang, 2002)
Mencangkul Api
begitu
letih keringat mengaliri semangat membakar, berbuih-buih
monoton,
lalu memaksa dedaun melambaikan tangannya tanpa setiup pun
angin
yang mampu mengatur ritme pernafasan yang semakin sesak ini
bagaikan
gendrang bertalu terus mendambun-dambun dada yang keropos ini
lalu
bergolaklah api, melambai-lambaikan cangkul di mata yang memerah
dan
menulis di selembar angin yang terbang mengawan membawa
kabar
tentang ketakmengertian
orang-orang
berteriak parau, aku mencekik adrenalin yang tumpah, membenamkan
api
sampai air bernyanyi pada suhu lebih seratusdrajat; glokglukglokglukglokgluk
dan
api terus melambai mencangkul; cangkul yang dalam, sampai berderingan
air
mengabarkan uapnya
(Jakarta,
2002)
Setangkai Amsal
amsal
tak lagi disukai
tapi
ia selalu datang dan tak pernah mau pergi
meski
sejumlah tanda-tanda telah ia tawarkan
untuk
dimaknai
amsal
dituding sebagai biang
yang
menjadikan semua gatal dan suka berandai-andai
melihat
angin yang melesat tajam menyayat sembilu
lalu
memberondong bagai anak panah lepas dari busurnya
menancapkan
keyakinan di balik ketakadilan
lalu
amsal digugurkan dari pohonnya yang rindang
daun
yang mengering bermain dengan angin
begitu
asyik membuat bola-bola lalu mengerucut
pada
tangkai yang tak sudi
amsal
menangkap beribu makna, lalu menebarnya
pada
tanda-tanda dan mencabut keyakinan
yang
tertancap pada ketaksukaan
(Padang,
Sept 2002)
B o m
begitu
indah goyang pinggul penyanyi dangdut itu
orang-orang
menghentak, meliuk bagai layangan di udara
mengalun
bersama cuaca yang benderang
(tak
terduga di belakang angin yang bertiup santun
seekor
harimau terbang memangsa semua kegembiraan itu)
betapa
sulitnya menyusun strategi
menepis
gabak yang menutupi mataangin
delapan
penjuru telah diracik kesengsaraan
mengintai
setiap jejak
jejak
siapa yang bukan alif?
(sejumlah
langkah terantuk di balik spanduk
lalu angin kelabu membelai kisah cinta terbaru
sejumlah sumpah diterbangkan angin ke pangkuan
gabak
yang legam jatuh di hulu sungai
mengabarkan
keperihan sampai ke muara)
bau
belerang aroma dan parfum bagi sebuah
perjuangan
bagai
seekor onta menarik langkah di teriknya padang pasir
menghela
nasib harimau bagaikan kucing yang dibuntingi tikus
(tapi
kucing meringkuk dalam asbak
menyatukan
abu rokok yang menyulut dada
setiap
anak bangsa yang mengaum lewat radio dan
televisi
mencari
punggung siapa yang bungkuk di antara kita)
merdeka
!
dan
meledaklah kegembiraan itu
di
atas penderitaan kita
masihkah
goyang sumbang itu
mampu
menyatukan kanak-kanak
di
lapangan merdeka, sementara kita
berpesta
dengan ketakutan?
(Padang,
17/8-2003)
B u s
setelah
memetik bunga di halte itu, aku meloncat masuk ke dalam perut bus dan menikmati
aroma beraneka warna tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarku
setelah
layu, aku pun singgah di halte berikutnya
entah
berapa stopan bus yang kusinggahi dan meninggalkan bekas pada setiap tangkai
bunga di sekitarnya. banyak kota dan ribuan kilometer telah mengantarku dari
satu terminal ke terminal lain, dan anehnya aku tak pernah tahu bus-bus yang
telah memabukkanku di sepanjang perjalanan hidup ini.
tapi
jalanan itu menggerincing bagai rantai ditarik musik sumbang dan berkali-kali
aku meleleh memekikkan persatuan, bersipongang dari barat ke timur
dari
kanan kuucapkan
assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh
lalu
menoleh ke kiri
dari
dalam beraneka bus
aku
belajar memahaminya
(Padang, Juni, 2003)
Di Lapangan Segitiga
di
lapangan segitiga
kita
bertarung;
di
dua sudut empatlima
kau
pancang bambu dua buku
lalu
di sudut sembilanpuluh
kau
kibarkan pusaka ibuku
kau
membentang kain panjang
dan
memaksa aku menulis puisi
di
atas tubuhmu kencang sangat
merumputlah
sapi sambil mendengus
benderamu
berkibar lagi
mengklepak-klepak
tertiup angin
“aku suka bambu dua buku
di setiap sudut itu,” katamu
lalu
bambu itupun aku makan
menggelepar
di lapangan segitiga
kulihat
sebaris bebek pulang petang
menjatuhkan
telornya begitu saja
senyummu
mengantarkan puisiku
entah
ke mana
(Sawahlunto, 2003)
Bukan Padi Buahnya
bukan
padi buahnya, merunduk padang ilalang
aku
jadi kenyang pada lapar yang sempurna
terdengar
provokasi, intrik, yel-yel
serombongan
pipit mematuk-matuk ilalang
mengalahkan
keperihan kehidupan,
bersarang
di balik perdu
irigasi
mengering, bendungan di mata ini
tak
kunjung bobol juga
di
tengah padang, spanduk terbentang
ada
seikat padi dalam gambarnya ;
“Bila
menang semua akan kenyang”
tapi
seekor biawak dalam semakpun tak suka
bau
kerisik yang anyir. diam-diam ia menyergap
sepasang
puyuh yang asyik berkayuh
menyisir
silet di ujung ilalang
sawah
membungkuk disepoi bayu
berserpihan
bunga rumput
kekenyangan
jadi lapar yang sempurna
pemilihan
umum menimbun dusta
sejumlah
proposal bertebaran
bagaikan
sawah menuai lapar
mata
ini semakin perih di tusuk ilalang
kekuasaan
semakin terik!
(Padang 2004)
Kerinduan yang Pecah
semakin
sulit dimengerti,
kerinduan
menjelma bagaikan seekor monyet
yang
meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya
lalu
mematah ranting yang rapuh.
apa
yang terjadi di kamar percintaan kita?
asap
itu bergumul melawan angin yang berkesiur
lalu
memecah pada atmosfir lain
membentur
sebuah kaca tipis yang menyimpan utopia
siapa
yang bercinta dalam gelas anti sentuhan
itu?
berlari
membawa piala kosong
ingin
menuangkan kerinduan
tapi
awan berarak dan menjatuhkan
hujan bagaikan pasir menimbun gunung
siapa
yang mengais airmata menjulangi langit?
mampukah
kita menggapai sebelum kulit ini mengelupas
sebelum
pecah berderai-derai
lalu
monyet-monyet itu memamah sambil mengalai?
(semakin
banyak yang kehausan, semakin membludak yang merindukan kasihsayang, semakin
tinggi angka kemiskinan, semakin jauh fatamorgana, semakin meregang jantung dan hati.)
(Padang, 2004)
Ah, Itu Bukan Bunga
ah,
itu bukan bunga
ia
tumbuh di sepanjang jalanan
menuju
kampung halaman
mengangguk
digoyang semilir
menanti
sunsang dari hilir
tapi
ia berkabar di televisi
tentang
bunga mekar warna-warni
ah,
itu bukan bunga
kembangkanlah
kembang
di
sepanjang jalanan
bagai
pawai anak sekolahan
mengibarkan
misteri anak negeri
berhujan
berpanas menanti
siriga-riga
layu alangkah pahitnya
ah,
itu bukan bunga
yang
melantunkan desau dedaunnya
membentur
dinding gedung-gedung kaca
menebarkan
sari di lelangkah mangsanya
memeluk
dan mencekik lewat aroma
menebar
senyum berjuta janji
di
bibirnya silet berbungkus tebu
mengirim
derita perih bak sembilu
ah,
itu bukan bunga
jangan
berharap banyak
sarinya
racun kembaran tuba
digiringnya
kita bak kerbau
dihalaunya
kita bagaikan bebek
ia
bergerak sunsang atas kuasa
memakan
melumat siapa saja
pahit
si bunga pahit
mekar
sepanjang jalanan
menuju
istana
menuju
surga
(Jakarta, 2004)
Terjebak ke Dalam Kancah
ini
bukan mimpi;
mandi
hujan, lalu main siram-siraman
di
langit sana menggelantung
bertandan
harapan
tiba-tiba
gabak memburu dan menerkam
mentari
disungkup kelambu buram
aku
menggigil, kota jadi gulita
ini
bukan impian;
makan
bersama, semeja dengan mereka
mulut
siapa berkuah darah ?
bagai
rendang melenguhkan sapi
bergulung
di perut ini, lalu muntah
perih
menggelepar kepedasan
ini
bukan kenangan;
melenggang
di pasar lengang
ribuan
jejak tak bertuan
menggenggam
bintang jatuh berderai
dari
pundak partai
terjebak
ke dalam kancah
berkuah
lanyah
(Padang,
1996 - Jakarta, Agustus 2004)
Lalu Kita Menari
meluncur
sejumlah galon, muncrat dari tanah
menyusubsidi
kemiskinan, mendesak kerongkongan
berduyun
pasir menampung di telapak tangan
siapa
yang mampu membunuh kesengsaraan?
sementara
kebodohan semakin dininabobokkan
bau
beras menyengak kumbang
setiap
hari mengorek jendela rumah mereka
daftarkan
segera semua hutang primer
bengkakkan
kaki mendesak kartu miskin
yang
bertahun lamanya kau rindukan itu
lalu
kita menari
di
atas kebangkrutan negeri ini
(Padang,
2004)
Petaka Pataka
maka
berkibarlah
panji-panji
beraneka warna
mengalahkan
pelangi
yang
melengkung di kala senja
menanam
tebu di bibirnya
bak
seulas jeruk manis
sepantun
durian matang
mengirim
haus dan lapar
pada
aroma dan kuning emasnya
lalu
bersipacu pataka itu
saling
patah mematahkan
dan
petakapun datang
menghanyutkan
sukma
menimbun
pelangi senja
menguapkan
segala aroma
dan,
menyisakan
kegelisahan
di
sesama kita.
(Depok, 2004)
Bedil Serumpun Bambu
beberapa
bedil berdiri saling bersandar
larasnya
menganga menghadang langit
asap
tipis bau mesiu
menghembuskan
keringat tuannya
mengerang
menahan perih miang bambu
pekik
serine dan derap sepatu
sumbang
di denyut dada
seikat
bambu runcing mengetatkan buku-buku
bau
anyir darah membeku
bertiup
dalam sejarah
mengaliri
dendam menyeringai
menantang
bedil melepas ikatan
siapa
penguasa mentari?
di
negeri rimbun subur tanahnya
bulan
meniupkan ketenangan batin
tapi
matahari menjaring gelisah
meski
bambu bermiang itu
memeluk
bedil yang mendongak
saling
menganga;
- menanti mangsa!
(Aceh,
2004)
Murka yang Mendesak
kemurkaan
mendesak di dada ini
ketika
penari yang meliuk itu
tercekik
pinggangnya
saudaraku
memburu kekuasaan
saling
menindas, saling menghina;
“akulah
yang maha benar!”
kemurkaan
yang lama mendekam
begitu
sulit menerjemahkannya
membuang
rupiah di gedung mewah
memecah
nikmatMu
saudaraku
membeli bibir
orang-orang
gagu
lalu
menyewa lidah si bisu
dengan
senyum kau suburkan
penderitaan
ini
(Padang,
2005)
Rindu yang Terbang
sia-sialah
bila masih saja terbang melingkar
lalu
sayappun patah, jatuh tersungkur dan terinjak pecah jadi noda
sementara
yang lain meronta kesakitan, berteriak pilu;
miskin,
miskin, miskin
lapar,
lapar, lapar,
dingin,
dingin, dingin,
sabar,
sabar, sabar.
ke
laut berenang rindu, ke langit terbang rindu, ke darat meradang rindu
siapa
yang tak ingin melayang menyapu awan, menyelami keindahan karang
dan
terjepit di antara reranting kayu pencipta dollar?
angka
kemiskinan terus bertambah, tumbuh subur bak cendawan
mereka
yang lapar terus dimamah, penawar kolesterol dan lemak di badan
dingin
semakin akrab, semakin nyeri tulang belulang disapu lembut gemawan
lalu
terkapar menahan perih, dengan penuh kesabaran
kaupun
terbang melayang meninggalkan jejak
dalam
proposal kemiskinan
duh!
(Padang,
2005)
Gelombang Dalam
bangun
pagi angin membadai
berdesir
dada ini, lalu mengaum tak terkendali
terlalu
banyak yang harus dicerna, segelas air dingin
telah
membasahi kerongkongan, dan seketika
mengamuk
bagaikan gelombang dahsyat
yang
akan menyungkup sebuah pulau
orang-orang berlari mengejar ketinggian,
gelombang berada dalam tubuhku
sementara
sepasang remaja menciptakan surga, berurai airmata
menggeliat
bagaikan seonggok ulat yang menggelepar kekenyangan
hingga
gelombang dahsyat itu menenggelamkan keyakinan mereka
lalu
jalan terhuyung bak gempa meluluhlantakkan sebuah kota
lari kemana? gempa di dada kita
berdentum hingga menanggalkan keyakinan
di
gugusan bukit barisan, kusaksikan bunga bermekaran
menebar
aroma kehidupan dan suara unggas
memadu
irama keceriaan pagi
mentari
sepenggalan, tapi kota jadi sepi
dan
kerinduan terabaikan begitu saja
tak
ada yang tahu, siapa yang dipilih Nuh naik ke kapalnya
yang
bersandar perkasa di dada gunung
sebuah kapal nongkrong di perkampungan
jadi tontonan tanpa airmata
kisah
itu kini menjadi konsumsi kita
sebuah
kenyataan telah meremas kemanusiaan
gelombang
dalam, paling dalam berdetak di dada
dan
darah tak pernah berhenti mengalir
menyaksikan
penanggalan lepas satu per satu
menikmati
siang dan malam silih berganti
sambil
melafaskan keagunganNya
kenapa
kita masih saja tak membaca?
fenomena
alam adalah guru, pemikul dosa muridnya
yang
kini jadi koruptor dan penguasa tak berhiba
diamlah gelombang dahsyat, berhentilah
mendambun dada yang keropos ini.
asma
Allah yang dipekikkan dari menara masjid, tetap saja
jadi
penanda waktu, menggarap bumi hingga
keringat berdarah-darah
lalu
menggelombang menghanyutkan keyakinan
dan
gempa yang dahsyat telah melepaskan jantung-hati kita
Nuh pun berkayuh mengikuti zaman,
penumpangnya penuh keceriaan
selagi
tak mampu melumpuhkan gempa di dada
maka
muntah itu tetap saja kumuh
amis
dan menjijikan.
(Padang- Aceh-
Padang, 2005 - direvisi 2010)
Peratap Mayat
demikianlah,
perempuan itu akan selalu meratapi mayat
setiap
pelayat datang, ia buraikan airmata berloki-loki
dilantunkannya
lagu sedih sambil terus menggapai dan menggapai
tersingkap
kain di betisnya putih bak umbi
memeluk
dan mengguncang jenazah bagai membangunkan anak
yang
selalu menggeliat setiap bangun pagi
setiap
pelayat menghampiri mayat ia kembali meratap
menguras
airmata mendendangkan kebaikan almarhum
menangisi
nasib peruntungan meliukkan kaki dan tangan
menyesali
bahkan mengutuk kematian
menyerapahi
penyobek kafan
mempradugai
air pemandian
ratap
dan tangisnya membasahi jalan menuju kuburan
bagai
mabuk alkohol ia merayapi tanah gembur galian
sambil
terus berpantun bergurindam berkulindan
menyergap
pengusung keranda dengan kesedihan
demikianlah,
ia meratap menangisi setiap ada yang pergi
memeras
airmata parapelayat memendungkan suasana
di
mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu
menyiasati
irama sumbang tentang kematian
dan,
ketika perempuan itu meninggal
tak
ada yang meratapi mayatnya
tak
ada yang menangisi jenazahnya
tak
ada yang melantunkan dendang sedih
tak
ada yang menyesali kematiannya
tak
ada airmata
(Padang, 2006)
Rindu Benalu
bagaikan
benalu yang menghisap tempatnya berpijak, meregangkan cambium yang tahan segala
cuaca, kau berteriak dari atas podium lalu memecah atmosfir kehidupan negeri
ini menarik neraca angka kemiskinan lalu merangkak ke negeri lain meminta
(memohon) bantuan atas segala bencana
tapi
bencana demi bencana, silih berganti datang menimpa tanpa air mata, karena
airmata telah menghanyutkan kerinduan pembunuh benalu yang diam-diam mencakar
dan mencabik kemanusiaan kita
Tuhan!
campakkan mereka ke nerakamu, karena selalu merindukan benalu di atas
penderitaan kami
(Padang,
2006)
Kontradiksi
di
hutan belantaraku
tumbuh
pohon emas
mencuat
tinggi bagaikan monas
subur
merimbun memuncratkan gas
di
jakarta kotaku
sawah
dan ladang mengering
gajah
terduduk kehilangan gading
migran
menumpuk diiming-iming
(Jakarta, 2007)
Bengkalai Utopia
masih
saja bengkalai itu tegak kokoh
berpuluh
tahun berhujan dan berpanas
tanpa
lumut dan ulat-ulat kecil yang biasa menggerogotinya
lalu setetes minyak telah mengharumkan semua
tanpa
aroma kimia yang didatangkan dari italia
tanpa keinginan spionase yang menelisik sebuah
kejanggalan
kita
menikmatinya
menahan kepedihan yang kian mendalam
dagu
lebah menjuntai di bawah bibir
sepanjang
waktu menabung manisan
lalu
seulas senyum madu
menikam jantung hati kaum papa
siapa
yang berani menginjak
lebah
yang mendengung di bawah dagu itu?
bengkalai
itu semakin kokoh
tetap
saja menjadi monumen kemiskinan
di
negeri penampung airmata
dari
ratusan juta warganya
negeri
yang kaya raya
busung
lapar penyakitnya
berpuluh
tahun menanti
utopia!
(Padang,
2007)
Gonjong Patah Dua
dara
siapa yang tersenyum manja
setelah
meluruhkan kasai dari mukanya?
mendongak
ke barat sana
membiarkan
lanyah-lanyah
mengeringi dadanya
meliuk
bagaikan penari India
pusarnya
bertindik berlian mengerdip
nanar
datuk ulah kemenakannya
rumahgadang
dikerubuti anai-anai
gonjongnya
yang dulu kekar menantang angin
kini
tampak terkulai, letih menanti penyangga
penghulupun
hanyut ke muara
mengharungi
lautan menjaring untung
dari
jauh ia terpana melihat api melambai
lalu
debu di tunggul kayu yang melapuk itu
pun
ditiup angin melimbubu
ke
mana si anak dara yang setia menanti?
bersipongang
anjing melolong tengahhari
ibu
terbaring lemah;
gonjongnya
patah!
(Padang,
2007)
Tertikam Bayangan
gelanggang
apakah ini, cahayanya membias
wewarna
saling silang menusuk kebahagiaan
tak
pernah melepaskan diri dari kerinduan malam
yang
ditimbun embun, pentilasi tak berdaun
warna
apa yang begitu kuat untuk sebuah kenikmatan
atau
saling mengintai kemisterian cinta
ada
bayangan dalam kolam, menciptakan narchisus
dan
mencekiknya pada kepuasan pribadi
wah!
siapa yang terbunuh akibat kekuasaan
yang
mengalir begitu deras mengungkung arus
membiarkannya
hanyut bersama mimpi
semakin
abadi sebungkah batu
yang
dibelai malingkundang
karena
debur ombak membeku di dadanya
dada
gunung angkuh, longsor ditraktor
lalu
cinta berpasir-pasir hanyut ke hilir
mengalahkan
semua kelembutan
rembulan
sampai
hari ini masih saja menjebak
padahal
kita telah mencatat
pohon
di tubir itu tumbang dan pekik peri
perpisau-pisau
narchisus
muncul sambil bersolek
tanpa
kaca (tak membanding)
akankah
berlama-lama
perenggut
kenikmatan
membunuh
cinta
yang
Kau terbarkan ?
di
ranjang berlian
malinkundang
dan narchisus
meletakkan
beban pelan-pelan
lalu
menyatu, anginpun berhembus.
(Padang, 2007)
Sepantun Daun Ubi
sepantun
daun ubi
tak
berpucuk di mulut bandot
kau
telanjangi ibu pertiwi
berbungkus
dedaun anekdot
tak
ada topeng aku merunduk
terantuk
kerikil si batu aji
keringat
dingin menguap di tengkuk
aku
nanar menantang mentari
tersenyum
juga sambil mengutuk
lalu
saling mengangguk basabasi
bertamu
ke rumah tetangga
nampaklah
kacaunya kamarku
sepantun
daun ubi
kambing
dan aku
(Kualalumpur,
Des 2007)
Rindu yang Terbelah
ketika
di dada ini menyala kesumat anak negeri
rindu
yang lama terpendam tiba-tiba membelah
saling
mencakar wajahnya
saling
mengasah lidah melebihi silet
mengasah
kuku mencengkram kekuasaan
sampai
berderik-derik
lalu
rindu menjelma bagai seribu jarum
menusuk
belulang, menghisap perih
derita
anak negeri yang membatin
terbelenggu
dalam tubuhnya
kenapa
diam dalam zikir
jadi
tak sempurna ?
kurasakan
salju ketika di dada ini
menyala
kesumat membelah rindu
yang
berderingan jatuh bagaikan kristal
(Padang,
2008)
Cinta Kartika
(pada
mak Rosnani Sulong)
mengalir
mulus drama siri itu, kumaki dan kumaki lelakiku
mengerling
kartika di hospital mendarahi turunan danau maninjau
airnya
menyebarkan cinta berbunga-bunga ke semenanjung ini
menyekat
di pembuluh pembukuan bambu ketemu saudara sepesukuan
lalu
pada bibir yang sama lelakiku berontak; tahan libidomu sayang!
diayun
riak gelombang selat melaka memerihkan mata hati ini
kartika
bercinta kulakonkan di tanah melayu putus nyambung ke muara
bertaut
pantai sumatra dan pulau-pulau kartika meniupkan angin kembara
aku
rindu mak; lakonmu semerbak ke mana-mana!
(Kualalumpur, 2008)
Dan Malam di Kamar Kembali Sepi
dibelainya
angin itu, lalu iapun menghirup kesegaran dengan sempurna
dadanya
mengembang, menebarkan aroma kehidupan
sambil
meliukkan tubuh bagai penari, ia melenggok di setiap ruang
dan
malam, di kamar kembali sepi
sendiri!
telah
ia reguk nurani, dan menyampakkan kelelahan yang sangsai
ia
pungut pujapuji dalam keterpurukan harga diri menabung sijil
berlembar-lembar,
berhelai-helai
kepuasan
selalu menggedor dan menggedor egonya hingga semua gapai
menjadi
sayup-sayup sampai, ditiup angin ke segala penjuru yang ia kejar
berlelehan
telapak kaki di jejak penuh lanyah sambil terus memintal jaring
pada
garis-garis cahaya mentari
dan
malam, di kamar kembali sepi
sendiri!
menjelang
pagi, dijengkalnya ranjang dengan jari, dan fajar menjilati embun
dijegalnya
dengan kaca melantun pada bayangan yang ia benci
diam-diam
ia pungut panas mentari sepanjang siang, membakar hangus
perintangnya
pada catatan kusam negeri ini
dan
malam, di kamar kembali sepi
sendiri!
(Bukittinggi, 2008)
Ketika Bumi Menggeliat
semalaman
hujan mengguyur kotaku
setelah
tanah tempat kami berpijak menggeliat
dan
merontokkan segalanya
Kau
mengirim dingin pada anak-anak
yang
berselimutkan dedaunan
kegelapan
semakin gulita!
inikah
kepahitan empedu
yang kami rindukan dariMu?
lalu suara tangis melepas mereka yang pergi
tiba-tiba
dengan
tangkas israil melaksanakan tugasnya
aku
menggigil,
mengaktifkan
kamera;
hitam
dan bayangan tak menentu
keangkuhan
teknologi pun terkulai lemah tak berdaya
lautpun
tersenyum, dan berbisik mesra;
tak ada lidah ombak
yang akan menerkam kalian!
tapi
semua orang berlari menjauhi pantai
mengejar
kaki gunung yang lunglai.
gempa
itu, merubah kotaku
bagaikan
nenek yang nyinyir
(Padang, 2009)
Apa yang Lebih Sejuk
apa
yang lebih sejuk
dari
seketat peluk
kau
terbenam dalam selimut
dan
membiarkanku bersujud
sore
tadi pohon mahoni berbaris
di
sepanjang jalan bermandikan gerimis
dan
ketika itulah kita terpasah
membiarkan
tubuh berbasah-basah
di
lobby Garden International Hotel
kita
terpuruk ke dalam irama sumbang
lalu
diam-diam kau menanggalkan mantel
di
luar kulihat masa bergerak mengambang
akankah
besok pagi gerimis berhenti
atau
daun mahoni berguguran di sepanjang jalan
bila
kita menyelesaikan kecintaan negeri ini
langit
tak akan menerima asap mengepul, hitam
dan
teriak-teriak itu, majalah, koran dan televisi
semakin
mengetatkan peluk kita
apa
yang lebih sejuk?
Tuhan,
kekuasaan dan cinta
mengapa
sulit untuk dipisahkan?
(Medan-Padang,
2009)
Astaghfirullah!
astaghfirullah!
tanpa
mimpi-mimpi
berguncanglah
tempat kami berpijak
lalu
dalam sekejab tangan kekar itu
mengulur
dari keluasan laut dan mencengkram
bagaikan
gagak menggunggung mangsa
meninggalkan
luka yang menganga tak berdarah
pekik
pilu pun menjadi sepi, tak bersuara, dan airmata
mencair
menghanyutkan ribuan jasad manusia
kenapa
Kau pilih negeri ini?
bagaikan
lidah raksasa menjulur amis baunya
menjilati
negeri kami lalu: Kun!
maka
menjadi rata semua cinta
jadi
laut bersama kekuasaanMu
tanpa
sekalipun bermimpi
tiba-tiba
diujudkan kenyataan ini
sesaat
kemudian pun jadi bisu
lalu
histeris melidahkan asmaMu
sungguh,
Engkaulah
Kepercayaan Teguh
yang
melenyapkan bermilyar dendam
hingga
tak lapar, meski sawah jadi padang ilalang
sampai
tak haus, karena keringat tlah mengikis miang
lenyaplah
semua kerabat, bersusun mayat di lapangan
astaghfirullah!
selain
keperihan nyata tak bertanda dalam mimpi
cobaan
Kau kirimkan, melumpuhkan keangkuhan kami
di
pundak ini, hinggap seribu hercules, tertatih memikul bumi
astaghfirullah!
(Padang,
0ktober 2009)
Maling Kondang
duduk
di atas angin ia semakin kondang
melesat
menembus langit
nyangkut
di bahu matahari
berberita
ke bilik tetangga, berdecak kagum
ia
tunggangi pelangi ke negeri apsari
bersahut
media saling menyebut
saling
debat dan beropini
kemurkaanpun
mekar jadi dendam
hingga
melaut ludah dalam mulut
rupiah
ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi
tak
ada yang bisa menyentuhnya
mentari
menjilat dan hangus terpanggang
duduk
di kursi angin ia semakin kondang
menjadi
maling di negerinya sendiri
katanya
bukan korupi, tapi komisi
setajam
apapun lidah politikus
membatu
hati bak Malinkundang
debat
dengan pakar sekali gus
media
berberita berulang-ulang
mengalahkan
penderitaan rakyat
dari
musibah yang mereka dapat
(Padang,
2010)
Bulan yang Lain
bulan
yang lain
kaca
susu tengah malam
;
tanda jasa mencibir pahlawan
tua
ragu
jadi
bisu
(Padang,
2010)
Beginilah Jadinya
gemericik
air terasa sumbang
di
kamar mandi itu
tiba-tiba
mengalirkan darah
ke
segala arah
mengusik
tidurku yang tak nyenyak
suara
itu semakin riuh
mendebarkan
seluruh
bagai
gendrang ditabuh
tak
henti menjelang subuh
bertalu-talu,
menggemuruh
semakin
sumbang
semakin
garang
(Padang, 2010)
Ayam Beranak Itik
induk
ayam heran melihat anaknya yang cacad
berpatuk
pepat dan berkulit tipis di antara jejarinya
“jangan
bermain di tepi kolam
kalau
jatuh kalian akan tenggelam,”
induk
ayam berkotek memberi nasehat
tapi
si anak malah menertawakan induknya
sambil
berkwekkwekkwek ia menjawab
aku
bukan ayam seperti kau, ibu
lautan
hanya sedalam dadaku
setelah
besar itik mengembangkan sayapnya
terbang
jauh menembus angkasa
hinggap
di bulan dan memetik bintang
berenang
menuju pulau-pulau
mengumpulkan
kekayaan
memperkosa
ayam, saudara ibu pengeramannya
“berkoteklah
sampai berbusa mulutmu
aku
akan terus menyeruput lunau
yang
tak bisa kau kais dengan cekermu”
tantangnya
induk
ayam tak menjawab
sambil
memicingkan mata
menahan
perih pantatnya yang lecet
menderita
berak kapur di usia tua
(Padang, 2010)
N g i l u
dada
ibunya kempes
si
bayi mengisap jari
(Padang,
2010)
Kepinding *)
kepinding
itu
bersarang
di huluhatiku
lalu
mereka beranakpinak
menggerogoti
hati dan jantung
bahkan
ikut mengatur
denyut
nadi ini
bagi
kepinding
menghisap
darah segar
tujuan
hidupnya
meski
bila tertangkap ia akan mati
ditindih
gigi atau kuku
maka
aku pun berubah
menjadi
kepinding
segala
niat di hati dihisapnya
aku
jadi sunsang!
mematuk
saudara sendiri
dihina
dicerca
dibicarakan
di mana-mana
berbuah
bibir di lepau-lepau
makin
disebut makin kondang
dan,
diam-diam
kubangun istana
dari
sumpah serapah mereka
(Padang, 2010)
*)
Kepinding = Kutubusuk
Batu Dalang
dalang
yang cerewet itu
tiba-tiba
jadi pendiam
seperti
malinkundang
seperti
malinkundang?
lalu
sang dalang bercerita pada batu
batu
pun manggut-manggut dalam diam
sejak
itu sang dalang memecat dirinya
sebagai
pengisah dalam pewayangan
lalu
jadi batu
'tak
ada yang lebih beruntung dari batu
meski
dibenci ia tetap diperlukan
sampai
hari ini'
ia
pun membatu!
(Padang,
2011)
Aku Nyaris Lupa, Kekasih!
Berlabuh
juga percintaan kita
yang terjalin begitu lama
limapuluh
lima tahun sudah
tanpa
kecupan, tanpa kerlingan
tapi
keinginan memelukmu menyergap
di
setiap waktu
selama
darah mengalir di aorta
denyut
nadi tak pernah berhenti
melangkah
juga aku, ngembara
mencariMu
ke langit, ke relung bumi
Kekasih!
sujudku
terbata-bata
kenapa
Kau perkenalkan aksara itu
hingga
aku nyaris lupa
percintaan
kita.
(Padang,
2011)
Dendamlah Angin
tiba-tiba
Kau melintas begitu saja!
gabak
menggelombang menerkam awan
membawa
kabar tentang kelaparan
langit
menjelma gagak hitam
hujanpun
jatuh menyungkup malam
siapa
mengibas bencana?
semakin
dendamlah angin kepanasan
membujuk
gemawan angsa berpatuk emas
menyisir
siang membakar mentari
menggalang
gulita tak sekunangpun
siapa
berbibir kina?
meringkuklah
parapapa di abu kepalan
mencatat
musibah di perut piala pas
meninggalkan
jejak kemiskinan berperi
kelak
dirawikan dalam kepedihan berjibun
tiba-tiba
Kau melintas begitu saja!
(Padang, 2011)
Sumpah Seperinduan
bersumpahlah
untuk sebuah keyakinan
lalu
pegang teguh sampai turun temurun
tumpah
ruahkan darah seiliran
yang
telah membeku bertahun-tahun
darah
itu kini mencair dalam aortaku
mengalir
dari kakek turun ke rahim bunda
lalu
anak-anak bertutur sampai ke cucu
berbangsa-bangsa
satukan bahasa
tapi
di tanah ini,
telapak
kaki meleleh kepanasan
berteriak
parau dalam ketakmengertian
meringis
ditindas saudara seperinduan
hanyutlah
sumpah di air sepeminuman
(Padang,
28 0ktober 2011)
Putri Raja di Sarang Penyamun*)
sulit
dipercaya; penyamun itu menyandra sang putri, setelah merampok dan membunuh
raja. tinggal di sebuah gubuk dalam hutan tanpa libido, tak tersentuh,
terpelihara bagaikan pualam. sang putri merasa tenang hidup bersama penyamun
yang berwajah sangar, sadis dan suka menyendiri itu.
“aku
suka diculik begini, dipenjara di tengah hutan, jauh dari spekulasi, kebohongan, pengasah lidah
menyembilu,” katanya.
sulit
dipercaya; seorang dubalang ingin mempertaruhkan nyawa, menjemput sang putri
dan membawanya ke istana tanpa pamrih, sementara tunangannya asyik di spa
bersama beberapa gadis telanjang yang membangkitkan libidonya.
“
kalian akan kuberi kebun sawit seluas mata memandang, bila singgahsana berada di tanganku,” katanya
lalu
dayang-dayang itu ngompol bersama dan berebut meneguk sperma majikannya.
sulit
dipercaya; penyamun dan dubalang berada di halaman istana sambil memikul
keranda yang dihiasi dedaunan dan kembang hutan, di dalamnya sang putri
berkonde emas berpakaian mengkilat bermanik-manik tiba-tiba berteriak
memerintahkan semua petinggi kerajaan memberi hormat dan sujud pada penyamun
dan dubalang.
“tak
ada pesta di gedung mewah, hari ini kita merayakan kematian ayahanda si
raja laknat dengan mengundang semua
petani, buruh, para kere di bawah jembatan, sopir, pedagang asongan, para
abdidalem dan semua rakyat jelata,” katanya.
sulit
dipercaya; kentonganpun bertalu-talu sampai ke pelosok desa menggema ke tengah
sawah dan ladang menggaung sampai ke puncak gunung, lalu mereka pun berduyun
datang ke istana membawa buahtangan; pisang, sayurmayur, rambutan, ketela,
jagung, kentang, padi, telor, ikan bahkan ternak kambing, ayam dan bebek. Para
buruh, kere membentangkan tikar dan memasang tenda, bergotongroyong. Tak
satupun kado berpita emas, tak ada yang memberi bpkb kendaraan mewah, tak ada
penyerahan sertifikat tanah atau rumah, tak ada cek bilyet bernilai milyaran
rupiah, tak ada kapal pesiar untuk berbulan madu, tak ada tetamu borjuis atau
selebritis, tak ada sepatu mengkilat, tak ada jas dan dasi.
sulit
dipercaya; kalau hari ini, banyak yang
merindukannya
(Padang, Nov
2011)
*)
diilhami dari roman “Anak Perawan di Sarang Penyamun” karya Sutan Takdir
Alisyahbana
Ketika Ibu Pergi
1.
telepon genggam ini, membantingku berkali-kali
lalu
menggelepar, merayap di lantai
bagaikan
bayi kelaparan, menangis
menarik
susu ibunya yang kering
selluler
itu mengabarkan;
ibu
telah pergi!
(Banda
Aceh, pagi 8 November 2011)
2.
setua
ini, beristri, beranak dan bercucu
masih
saja tak sempat menghitung
berapa
langkah yang telah kuayunkan
untuk
mencapai pipi ibu yang keriput
lalu
senyumnya membekukan airmata
mencairkan
keikhlasan
melepas
ibu
keharibaanNya
berzikir
dan aku terus berzikir;
orang-orang
lalulalang, suara gebalau
mendorong
koper, menjinjing tas
lalu
announcement dari dinding peron bandara
kekhusukanku
pecah berpendar
suara
ibu menghiba
penerbangan
tertunda
hujan
membaurkan airmata
duh!
(Polonia,
selepas ashar, 8 November 2011)
3.
gabak
menggumam di langit
seperti
disilet, disayat-sayat
aku
menangisi kealpaan
aku
memendam penyesalan
terpaku
di kuburan
tanahnya
terasa hangat
hujan
menimbunku
bertubi-tubi
bertubi-tubi!
(Padang, selepas
magrib, 8 Nov 2011)
D e b u
bila
terusik debu akan mengepul dan
terbang
bagai serombongan merpati
mengaburkan
jendela, memerihkan mata
kita
menghirupnya dalam-dalam, lalu batuk-batuk
menumpuk
di huluhati, mendesak pernafasan
mendahak
ke mana-mana
menebarkan
virus ke mana-mana
menggerus
paru-paru kita
batuk
melantun ke mana-mana
terantuk
ke dinding kaca menggaung ke istana
mengetuk
hati penguasa
membulalang
memerahkan mata
adrenalinnya
mendesak: heuk heuk heuk!
menumpuklah
debu menghitamkan hati
menggelapkan
nurani
sapu-sapu
pun ditimbun debu
semua
berkas berdebu
merayap
bersama angin, menimbun konstitusi
mengaburkan
tatakrama, mendebu komisi
mengaburkan
segalanya, tanpa nurani
tak
ion sedebu pun bertiup
tak
debu penghalang hidup
(Padang, 2011)
Mengurai Padang
Padang
Panjang
tikungan
tajam di mata pedang
turunan
terjal licin selayang
Padang
Pariaman
ke
laut diayun gelombang
ke
darat disepoi dagang
Padang
Luar
berdiri
di pintu dapur
memandang
gunung para leluhur
Padang
Bauk
darah
membeku di rantau jauh
lidah
rang minang tetap tersepuh
Padang
Bulan
garuda
nyasar hinggap di sini
sepantun
si pungguk melepas birahi
Padang
Kata-kata
beribu
kata terucap di sini
berjuta
makna kehilangan arti
Padang
Sawah
padi
ditumbuk ke Thailand
kincir
menangis terabaikan
Padang
Ilalang
pipit
terperangkap bau padi
tikus
beranakpinak ngisap umbi
Padang
Genting
genting
tak akan putus
putus
rahim berjela-jela
Padang
Serai
aneka
bumbu dedaunan
masakan
padang di gerai-gerai
Padang
Luas
sebebas
kuda berlari
kemiskinan
riang menari
koruptor
meluaskan diri
Padang
Alai
sesayup
gumam zikir
ketipak
indang bersahutan
serunai
mendayu
di
kuburan
Padang
Rumput
masih
saja merumput
seperti
bandot
anak-anak
menyepak bola
para
bandot mengutil rumput hijau
rebutan
kursi bergelanggang
kursinya
melayang-layang
seperti
bola, ditendang, diterjang
Padang
Ranggas
harimau
mengurai kerisik
singa
rindu diterkam monyet
padangpun
meranggas
penuh
kolesterol
dendam
kehijauan
Padang
Jelatang
di
padang jelatang telah dibangun
tiga
pilar penyangga negeri;
executif,
legislatif, dan yudikatif
yang
berurusan dengan ke tiga pilar ini
pasti
akan gatal kena miangnya
lalu
menular pada rakyat jelata
miskin,
lapar, bodoh, dan menderita
asyik
menggaruk-garuk ketiak, pantat,
bahkan
jongkok menggaruk selangkangan,
perut
dan mengurut dada.
Padang
Pasir
berlari
ke tengah padang
diguyur
hujan berpasir-pasir
gunungpun
berpindah
menyungkup
oase
tak
air keringatpun jadi
Padang
Simpang
di
persimpangan ini anak dagang membagi
matahari,
bulan dan bintang-bintang lalu dibawa
pulang
untuk tunangan tersayang
yang
akan menyimpan botol pusaka usang
di
tengah padang mereka berkumpul
menghitung
untung dagang
menghitung
nasib yang lekang
Padang
Karbala
di
sini adam dan hawa
menurunkan
anak cucunya
bergelambir
cairan ketuban
yang
anyir dan najis itu
lalu
menyeruak ke seluruh daratan
menyemak
seluruh larangan
menggunungkan
dosa
lalu
berdoa
dan
berdoa
subhanallah!
(Padang, 11-12)
Di Pintu Komatkamit
apapun
kepercayaannya
melacurkan
tubuh atau jabatan
tetap
saja dipinggirkan
tapi
penguasa itu, dan wanita itu
berbusa-busa
mulut dan selangkangnya
berdendang
dan menari menikmati
kesengsaraan
negeri ini
seakan
merekalah tuhan
yang
menentukan siapa yang makan
atau
puasa hari ini
lalu
tuhan itu berguling di ranjang
kapuk
kasurnya berburai dan mereka
mandi
rupiah berderai-derai
sampai
buah dada wanita itu jatuh
menimpa
zakar pasangannya
meleleh
darah dari mata mereka
dan
sperma penguasa itu merangkak
menangisi
rahim tak bermalu
menangisi
rahim tak berpintu
lalu
membusuk
terbungkuk-bungkuk
terbatuk-batuk
tak
ada yang membezuk
orang-orang
pun mengutuk
maka
terbengkalailah
surga
wanita itu
di
pintu komatkamitnya
(Padang,
2012)
Tekateki Purba
satu
bejana
berdinding emas, tak berpintu tak berjendela
ratusan
butir berlian hitam berserakan di dalamnya
istana
merinding panas, siapa tahu ada kudeta
menangis
selir dibungkam, gerangan apa kiranya?
batiak
membusuk membungkus tubuhnya!
dua
kalau
pergi menghadap pulang
ketika
pulang seperti hendak pergi
perian
bambu kehilangan miang
darah
berdesir, apakah yang terjadi?
tenggorokan
gatal sejak di tapian
tiga
ke
rumah baru sangatlah ramai
setelah
itu sombongnya setengah mati
membakar
kemenyan berbunga rampai
menebarkan
wewangian, tebaklah ini.
astano
dirancang dari singgahsana
empat
di
luar; anti pecah, anti basah, anti bakar, anti demo
di
dalam; sembunyi di telapak kaki
adakah
bayangan di kelelahan bunda
berhujan
berpanas ia terus mendaki
ngeri
menebak bayangan sendiri!
lima
duduk
di batu sebulan lamanya
membelah
badan makanya hidup
ah,
lima tahun, kapan berkoteknya?
(Padang, 2012)
Lagu Sesuka
sesampan
sekayuh biduk
melenguh
sapi dalam rendang
sebadan
setubuh duduk
mengaduh
kursi dalam ruang
menangis
kursi dalam gedung
pantat
pemiliknya penuh duri
mengais
rejeki mengadu muncung
aparat
seenaknya kalau korupsi
naik
naik ke puncak gunung
tinggi
sangat tinggi sekali
saling
menghujat dalam gedung
rakyatpun
muak jadi benci
(Padang,
2012).
Tali Tiga Sepilin
dua
anak, bersaudara
terperangkap
di sarang burung tempua
berimajinasi;
memintal
tali tiga warna, lalu menjalinnya
hitam,
merah dan kuning
burung
tempua mematuk adrenalinnya
entah
apa salahnya
hakimpun
kehilangan palu
sarang
burung tempua tergantung tinggi
dan;
dar
der dor!
jantung
ke dua anak itu
berhenti
berdenyut
dan;
dur
dir daur
didaur
ulang serapi mungkin
tapi
tetap saja tidak mungkin
(Padang,
2012)
Di Negeri Pelacur yang Pekak
setelah
melacurkan kebijakan
mereka
menikmatinya dengan
membungkus
sistem begitu rapi
seperti
mengarungkan kucing
lalu
menerima komisi
dari
gedung-gedung kedap suara
penentu
nasib anak negeri
lalu
mereka berteriak;
pelacuran
harus dibasmi!
ya,
ya. kita menyukainya diam-diam
bila
terbuka dianggap tabu, tak bermalu
bukankah
kita bangsa yang beradab?
menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan
maka
berpandai-pandailah
bak
tikus mengerek mangsa
membeli
kekuasaan
lalu
menista rakyat sendiri
di
negeri para pelacur
darah
dan nanah menjadi halal
intelektualitas
haruslah terukur
mengasah
lidah melebihi sembilu
yang
jalan sendiri akan tersungkur
diranjau
sepanjang jalan
pemegang
kebijakan semakin makmur
menyelusup
mulus di antara kepentingan
lalu
meludahi konstituen sendiri
sementara
wanita
malam yang tak pernah tidur
dibanting
dan ditindih
sejumlah
uang dihamburkan ke kasur
siangnya
mereka dinista sampai hancur
di
negeri yang laknat
para
pelacur menghancurkan pelacur
para
wanita penghibur dijadikan umpan
lalu
bau alkohol dan asap rokok
menyungkup
mereka dibuai narkotika
memungut
mimpi, menciptakan surga
rakyat
menderita di tikar neraka
di
negeri para badak yang pekak
tak
mempan sindiran pantun atau sajak
wanita
malam, berhentilah melapak
biarkan
mereka saling teriak-teriak
lalu
anak negeri kan bergolak
amarah
rakyat menggelegak
Tuhan,
musnahkanlah
negeri para pelacur
penghisap
darah dan nanah!
tenggelamkan
ke dalam
apsariMu
(Padang, 2012)
Zikir Kalbu
digores
kuku
perihku
malu-malu
geli
dan ngilu
kuraih
awan
membisu
perawan
menjeritkan
kenangan
menjauh
tuhan
dari zikir tertahan
akupun
terban
(Padang, 2012)
Aroma Malam
tanpa
wanita itu, malam ini seperti jamban
bau
tak sedap samasekali
bagaikan
pianggang mengerumuni cahaya
lalu
menebarkan penyakit
berbunga-bunga
di lembaran duit
tetap
saja tak wajar
sekadar
menghamburkan
hasil
kongkalingkong
uang
haram pembeli yang haram
mengiris-iris
hati
lalu
asap rokokpun mengepul
bau
alkohol menebar sampai
ke
selangkangan mereka
rahim
siapa yang berteriak
histeris
!
tak
sudi disinggahi berkali-kali
kumbangkah
atau kupu-kupukah
yang
menyelam sambil menghisap sari?
seperti
juga kita
terkadang
lupa memisahkan
halal
dan haram
bau
keringat dingin
kumbang
dan kupu-kupu
membungkus
sayapnya
di
balik jeritan
ketaksukaan
(Padang,
2012)
Tersebab Benalu
membusuk
kayu cendawan mekar
berpayung
api mengepulkan asap
menggabak
langit menipu mentari
panas
menggigit kekuasaan
terik!
tarik
menarik
kayu
melapuk apipun makin garang
habis
semuanya
maka
tumbuhlah benalu
di
antara kita
saling
memangsa
(Padang, 2012)
Haiku: Galau
jaring
terurai
dipeluknya
bayangan
mengharap
gabah
**
suara
badai
gelisahkan
nelayan
tak
pernah kalah
***
jatah
si miskin
obat-obat
generik
macam
kerikil
****
anak
perawan
bergaya
di jalanan
cari
pembalut
(Padang, 2012)
Komisi di Secangkir Kopi
mobil
esemka kebanyakan emisi
pakar
bertengkar, emosi
kerangka
mobil membenam
motivasi
pun dikebiri
mencari
komisi di secangkir kopi
ditenggelamkannya
nalar
menjerat upeti
mencari
kerja
sogok
menyogok
payah
membanting tulang
(Padang, 010312)
Hamil Tikus
hamil?
kata sabay terlonjak dan memeluk istrinya
akhirnya
istriku hamil, dia tidak mandul, lanjutnya
dan
ia kabarkan pada setiap orang
diam-diam
sperma tikus nyangkut
di
rahim istrinya. perutnya membusung
bagaikan
zeplin tersandar
di
dinding ngarai
suatu
pagi, tiba-tiba perut itu kempes
“kau
taruh di mana bayi kita, sayang?”
dengan
senyum, sang istri menunjuk lemari
"kembar
45, mencericit seperti tikus," jelasnya
dan
berloncatanlah tikus-tikus itu ke pangkuannya;
papa,
papa gendong aku ya
aku
makan mata papa
aku
suka hidung papa
telinga
papa gurih
bibir
dan lidah papa tak bertulang
sabay
terkapar di depan lemari
yang
menyimpan rahasia hidupnya
"jangan
habisin papa, nak”
amat lirih suaranya
(Padang,
2012)
Mata Siapa dalam Bayangan?
ada
bayangan melesat begitu saja
aku
terlambung dalam bola
dan
menggelinding ke sudut waktu;
ah!
sudahkah masa
pensiun
menyapa?
lalu
melantun-lantunlah gelisah ini
menanti
lelah dalam kurun
ada
mata dalam bayangan
seperti
mengerdip di percikan air
membasuh
gurat memberat di wajahku
tengadah
ke langit seperti mencari
bayangan
siapa dalam mata yang memerah ini
(Padang, 2012)
Aku Bukan Merampok
angin
itu, ya, ya menyelusup masuk ke dalam tubuh ini, diam-diam keluar lagi lewat
dubur setelah mengilhami semua ampas di perut yang semakin membuncit ini dengan
aroma yang mengasyikkan. biarkan orang-orang memencet hidungnya, sementara aku
semakin asyik menikmati angin, yang menyemangati keinginanku
menutup
hidung di tengah gebalaunya angin yang berkesiur sangat menguntungkan karena
aku akan memompakannya ke ladang imaji yang diam-diam menjadi kenyataan dengan
kekayaan melimpah. aku bukan merampok dari tangan-tangan yang makin lunglai,
menderita dan sesak nafasnya akibat tak tahan menghirup udara di sekitarnya
"tuhan,
berkahi aku kentut yang lebih busuk lagi, agar orang-orang tak suka dan hambaMu
akan merdeka di negeri yang menjijikkan ini"
(Aceh, 2012)
Takut Taktik
tak
sekam memendam jua, tak api berasap jua, tak kayu membara jua, tak ragu gelisah
jua tak panas membakar jua, tak lidah memfitnah jua, tak suara memekik jua, tak
datang hadir jua, tak peluk dirangkul jua, tak lari dikejar jua, tak diam
gelisah jua, tak libat disangkal jua tak
lepas ditangkap jua, tak lihat nampak jua, tak korup dicurigai jua, tak maling
dijatahi jua, tak jabat disalami jua, tak ikut disertai jua, tak debat
meradang jua, tak demo membangga jua,
tak kutak katik jua, tak mandi basah jua, tak dengar tahu jua, tak pikir pintar
jua, tak ngerti politik jua, tak obat generik jua.
takut
taktik mengutakatik
penyakit
politik
penuh intrik
!
(Padang, 28 Maret 2012)
Demi Setetes Embun
tak
henti-hentinya mentari
memancarkan
terik dan panas
menyeruak
sampai malam
adrenalin
pun sulit dikendalikan
sampai
parau memekikkan ketaksukaan
kursi
itu bergoyang tak juga tumbang
cuaca
tak menentu merubah atmosfir
sekehendaknya;
di sesubuh ini, berkeringat juga
tanpa
basa-basi diterkamnya embun
yang
asyik mencium ujung daun
meski
nyamuk telah tertidur
di
balik gordein dan tumpukan berkas
demonstran
itu tetap saja mengasah lidah
demi
setetes embun
demi
selembar daun
(Padang,
2012)
Menyepak Siang
orang-orang
menyepak siang
bulan
sumbing tersenyum
matahari
malu merah pipinya
gemintang
mengerdip
menunggu
zaman
meraihnya
menanti
bahu
tak
berdosa
(Aceh, 2012)
Berkemaslah!
di
denyut nadi kuusai sajadah
sampai
remuk redam
seakan
terban ruh dari zikir yang khusu’
aku
melayang jauh menembus langit
menguak
rahasiaMu
lalu
mengigau dan menggelepar
sendiri!
angin
dan cahaya saling ingkar janji
merenggangkan
atmosfir
hingga
berpendar suara adzan
mentari
di ubun
menancapkan
panasnya
keluasan
membiru mengiangi telinga ini
darah
nyamuk yang membeku di sajadah
kudengar
suaranya;
segera,
berkemaslah!
subhanallah!
(Padang, 2012)
SYARIFUDDIN ARIFIN;
Lahir di Jakarta, 1 Juni 1956. Berpendidikan: ST-KIP, Sumbar, jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia.
Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981)
di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan
Basis.Tulisanya dimuat di beberapa media cetak (majalah dan koran) Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra
Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an.
Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater
Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang
(1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Telah melakukan
perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei
Darussalam dan Singapura.
Buku
Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung
Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, dan Maling Kondang (2012)
terbitan Tersa Budaya Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979)
oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka,
(1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se
Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera
Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000)
Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari
Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala.
Kumpulan
Cerpen al, Bermula dari Debu, (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera
Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya
Sumbar.
Novel/cerbung
al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate
(2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres
Padang.
Memenangkan
Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan
Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara
Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara
Penulisan Naskah Sandiwara, 1984.
Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy
Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara
Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat
sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004.
Beberapakali
mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979),
Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian
di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak
Jawa Barat (2002)
Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain
film/sinetron.-
------------------
Endorsmen Kulit belakang:
Syarifuddin
Arifin sudah memublikasikan sajak-sajaknya sejak tahun 1980-an, kemudian lama
saya tidak mengikuti perkembangannya. Tapi setelah membaca sajak-sajaknya dalam
kumpulan Maling Kondang ini, saya kaget. Tak terduga, loncatan imajinya luar
biasa. Tidak sebagaimana biasanya penyair membukukan sajak-sajaknya dengan
nafas yang sama, melainkan ia kemas dalam sebuah campursari. Ada pantun, haiku,
sajak naratif, dan bahkan ada bau-bau mantra. Kumpulan sajak Maling Kondang ini
seperti membentangkan bianglala. Secara keseluruhan, Syarifuddin Arifin ingin
meloncat jauh ke depan tanpa meninggalkan akar tradisi sastra Minangkabau,
komunitas budayanya.
(Heru
Emka , penyair, penyunting, pengamat eseis berbagai genre kesenian.
Tinggal di Semarang, meninggal 2 Mei 2012 saat buku ini dalam proses cetak)
*
Membaca
Kumpulan Puisi Maling Kondang karya Syarifuddin Arifin langsung mengingatkan
saya pada dua sisi mata pisau, kritik sosial sebagaimana tercermin pada judul
buku puisi ini, dan ‘refleksi diri sendiri’. Yang pertama amat dibenci dan
ditakuti oleh para penguasa otoriter,
sejak dari Josefh Stalin sampai Soeharto, dan yang ke dua menyirami ‘gula’
katarsis ke lubuk jiwa para pembacanya. Puisi-puisi Syarifuddin Arifin dalam Maling Kondang ini mengandung ke duanya
yang diramaikan oleh simbol-simbol tradisi dan modernitas, dan diletakkan
secara proporsional dalam konteks dan gerakan alam yang berbeda hakikatnya tapi
hamper sama dampak social psikologisnya. Gonjang ganjing politik negeri ini
yang sudah bergelimang korupsi dan goyangan alas bumi Sumateranya yang tak
pernah henti dihoyak gempa.
(Suryadi,
dosen dan peneliti Indonesian Studies, Leiden University Institute for area
studies (LIAS Leiden, Belanda)
.
10/06/2012
seperti dakocan berwarna merah dan kuning
tiba-tiba dimatikan lawan sambil senyum
dengan mengakhiri permainan kartu menjelang subuh,
hemaglobin merapung dan adrenalinku melemahkan denyut jantung ini.
Sementara di sana, puluhan poster dan spanduk memanaskan api,
mencairkan dahak atas perselingkuhan hukum yang saling orgasme,
entah siapa yg melakukan penetrasi,
karena mereka mengaku paling gagah dan jago
meski ke duanya layu dan perlu ditegakkan kembali.
Aku masih ingin menyusun kartu-kartu itu,
meski tanpa yoker yang seenaknya keluar masuk ke segala sektor kehidupan ini,
untuk memastikan siapa maling yang paling kondang di antara kawan sepermainan ini.
(Padang, 6 Oktober 2012)
No comments:
Post a Comment